Dari kenyataan yang dihadapi ilmu tanah dan latar belakang sejarahnya, timbul berbagai pertanyaan mendasar tentang hari depan ilmu tanah. Sudahkah ilmu tanah sampai pada akhir perkembangannya? Apakah ilmu tanah sudah menemukan tempat yang sesuai, baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam kehidupan masyarakat? Mungkinkah bidang pelayanan ilmu tanah diperluas, yang tidak saja meliputi bidang pertanian akan tetapi mencakup pula bidang kegiatan lain yang berkenaan dengan penggunaan wilayah? Seberapa siap ilmu tanah mengantisipasi pemunculan kenyataan tadi dan bagaimana konsekuensi pembaharuan pandangan mengenai hakikat tanah dalam kehidupan manusia atas perancangan dan pengelolaan pendidikan dan penelitian ilmu tanah? Sekelompok pakar tanah Amerika Serikat pada tahun 1950-an berupaya menyusun suatu sistem klasifikasi tanah serbacakup (comprehensive) agar bersifat serbaguna dan tidak hanya berguna bagi kepentingan pertanian saja. Dengan kata lain para pakar tersebut menginginkan agar informasi tanah dapat menjangkau berbagai pihak.
Setelah meliwati banyak tahap ujicoba (approximations) dengan kerjasama internasional luas, akhirnya pada tahun 1975 terbit buku Soil Taxonomy yang dinyatakan sebagai "a basic system of soil classification for making and interpreting soil surveys". Buku ini sampai sekarang masih mengalami perbaikan dan penambahan agar dapat menampung semua fakta tanah yang ditemukan di semua bagian dunia dan dapat melayani secara lebih baik kepentingan-kepentingan lain di luar pertanian. Soil Taxonomy disusun oleh Soil Survey dari Soil Conservation Service USDA dan diterbitkan sebagai Agriculture Handbook No. 436. Pada tahun 1966 Soil Science Society of America bersama dengan American Society of Agronomy menerbitkan buku Soil Surveys and Land Use Planning. Buku ini menyajikan secara jelas kepentingan informasi tanah berupa peta tanah bagi perencanaan permasyarakatan (community planning) yang menyangkut pembangunan wilayah pedesaan yang ditempati penduduk bukan petani, wilayah perkotaan, kawasan rekreasi, taman, dan jaringan jalan utama (highways). Informasi tanah juga diperlukan untuk penyeragaman penaksiran pajak bumi. Dengan memperhatikan keadaan tanah, pembangunan sektor bukan pertanian dapat mencapai efisiensi tinggi dan bersamaan dengan itu memperoleh wawasan lingkungan (Bartelli et al, 1966). Informasi tanah yang diperlukan sama dengan yang diperlukan pertanian, akan tetapi penafsirannya tentu berbeda (Kellogg, 1966).
Penerbitan kedua buku tadi pada paro ke dua abad ke-20 menandai terbitnya jaman pembaharuan makna ilmu tanah. Pelayanan ilmu tanah diharapkan dapat meluas dan menjangkau berbagai gatra kehidupan masyarakat. Ilmu tanah ingin dihayati kemaujudannya oleh seluruh masyarakat, tidak hanya oleh masyarakat ketanian saja.
Pada suatu tahap perkembangannya, ilmu tanah pernah dibina oleh geologi. Dalam pengkajian geologi kuarter diperlukan masukan dari telaah pedogenesis. Fakta ini diungkapkan dalam tulisan-tulisan Tedrow (1973), Jackson et al. (1973), Yaalon dan Ganor (1973), Mulcahy dan Churchward (1973), Wada dan Aomine (1973), El/Attar dan Jackson (1973), Gerasimov (1973), Zonn (1973), Ugolini dan Schlichte (1973), Pons dan van der Molen (1973), van Zindern Bekker dan Butzer (1973), Birklkeland (1974), Notohadiprawiro (1980), dan Gerrard (1981).
Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir terjadi perluasan besar dalam bidang penerapan ilmu tanah, mencakup arkeologi, ekologi, rekayasa, proyek-proyek pembangunan wilayah, dan tata ruang (Steur, 1967; Limbrey, 1975; Western, 1978; Buringh, 1978; Jenny, 1980; Soil management Support Service, 1981). Akibat pembaharuan cerapan mengenai ilmu tanah kemudian melanda pula bidang kajian tradisional ilmu tanah. Greenland (1981) misalnya, berpendapat bahwa pengkajian tanah untuk produksi pertanaman perlu dilatarbelakangi klasifikasi dan geografi tanah. Dengan latar belakang tersebut kesuburan tanah dapat ditaksir secara baik menurut kriterium kapabilitas bermatra waktu dan ruang, yang menyiratkan keterlanjutan penggunaan dan efektifitas kegunaannya. Buku Greenland bersama dengan buku pendahulunya, antara lain yang ditulis oleh Sanchez (1976), Theng (1980) dan Uehara dan Gillman(1981), menempatkan kajian tanah untuk pertanian dalam sorotan baru. Dalam sorotan itu kajian tanah tidak dikerjakan untuk memenuhi permintaan pertanian, akan tetapi dikerjakan untuk menyediakan informasi yang diperlukan pertanian sebagai salah satu pengguna tanah. Jadi, kajian tanah untuk pertanian ialah kajian tanah menurut metodologi ilmu tanah dengan diberi tafsir pertanian. Tergantung pada pengguna yang dilayani, kajian tanah yang sama dapat diberi tafsir teknik sipil, ekologi, geologi, arkeologi, dan sebagainya Maka ilmu tanah bukan bagian dari pertaniam
Baru-baru ini penempatan ilmu tanah di bawah naungan pertanian dipertanyakan secara tajam oleh Presiden Soil Science Society of America, Fredd P. Miller (1991). Maka keanggotaan dalam SSSA pun harus melalui keanggotaan dalam American Sosiety of Agronomy (ASA). Dipertanyakannya apakah ilmu tanah tidak perlu mencari paradigma baru. Kita terbiasa menjatidirikan lembaga menurut asal usul. Memang benar bahwa pada awalnya ilmu tanah ditangani oleh para pakar yang terdidik dan terlatih dalam ilmu kimia, fisika, biologi dan geologi, yang menerapkan asas dan alat mereka pada pengkajian tanah. Disiplin ilmu tanah mewarisi banyak pandangan dan tata kerja mereka. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ilmu tanah diasuh dan menjadi dewasa di bawah pembinaan dan kelembagaan pertanian. Dengan demikian ilmu tanah, pakarnya dan himpunannya berkarya dengan paradigma ketanian. Dengan meluasnya bidang dan bertambahnya keberbagaian persoalan yang dapat ditangani ilmu tanah dewasa ini, muncul gagasan yang makin meluas dan menguat mengenai memilih di antara dua pilihan. Pilihan itu ialah tetap setia kepada paradigma ketanian yang telah menjadikan ilmu tanah kokoh dan terhormat namun tetap saja dipandang sebagai anak asuh pertanian, ataukah mencari paradigma baru yang membuat ilmu tanah berjatidiri dan berkemandirian secara utuh. Pembaharuan paradigma dapat berupa mengafiliasikan ilmu tanah dengan ilmu kebumian (earth sciences).
Ilmu tanah sendiri tidak luput dari pengaruh berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pengaruh terpenting datang dari gerakan pengetatan penggunaan energi fosil atau energi komersial dan keprihatinan yang terus meningkat mengenai degradasi lingkungan hidup. Sehubungan dengan kedua hal tadi ilmu tanah terdorong meninjau ulang konsep dan tafsir faktanya. Kegiatan yang memakan energi fosil banyak ialah pemupukan dan pembenahan tanah (soil amendment) dengan bahan kimia buatan, irigasi dan pengatusan dengan bangunan bersistem gravitasi dan terutama dengan sistem pompa, pengolahan tanah dengan mesin, dan pemberantasan hama dan penyakit asal tanah (soil borne) secara kimiawi. Di samping itu pupuk dan pembenahan tanah buatan serta pestisida berdaya cemar kuat atas perairan.
Persoalan energi fosil berkenaan dengan pemupukan, pembenahan dan pengolahan tanah menghadapkan ilmu tanah pada empat pilihan. Pilihan pertama ialah tetap menggunakan masukan energi fosil bertakaran tinggi seperti sekarang, akan tetapi bersama dengan itu meningkatkan efisiensi penggunaan berdasarkan kreterium nisbah keluaran/masukan energi yang meningkat. Pilihan kedua ialah mengurangi kebutuhan total energi fosil dengan menganekaragamkan pertanaman, menyelaraskan sistem pembudidayaan pertanaman, atau pewilayahan pertanaman menurut asas agroekosistem. Pilihan ketiga ialah menyulih sebagian atau seluruh kebutuhan energi fosil dengan energi hayati yang terbarukan dan lebih murah. Pilihan keempat ialah gabungan antara berbagai pilihan tersebut.
Pilihan pertama dalam kaitannya dengan tanah mengupayakan perbaikan efesiensi penyerapan hara pupuk oleh perakaran tanaman dengan jalan (1) memilih bahan pupuk yang lebih lambat melepaskan hara, sehingga laju penyediaan hara setaraf dengan laju penyerapannya dan dengan demikian tidak ada kelebihan yang terbuang, (2) memasok hara secara berimbang untuk memperoleh tingkat konversi hara menjadi biomassa berguna yang tinggi, (3) menerapkan teknik pemupukan yang sesuai dengan sifat tanah untuk mengefektifkan penggunaan hara pupuk, dan/atau (4) mengelola tanah untuk memperbaiki interaksi antara pupuk dan tanah. Upaya ini perlu dilengkapi dengan upaya agronomi berupa meningkatkan daya tanaman mengkonversi masukan energi komersial menjadi keluaran energi hayati berguna dengan jalan (1) menanam varietas tanaman berhasil panen tinggi, dan (2) menjadwalkan pemupukan menurut fase-fase fisiologi yang bertanggapan paling menguntungkan.
Segi tanah dari pilihan kedua berkenaan dengan menghemat pupuk yang diupayakan dengan jalan (1) memanfaatkan pupuk yang tersisa dari pertanaman terdahulu untuk pertanaman berikutnya, (2) menyusun pola pergiliran pertanaman yang kebutuhan pupuk total lebih rendah dari kebutuhan semula dengan budidaya tunggal, (3) melaksanakan sistem pertanaman yang memanfaatkan sebaik-baiknya potensi tanah memugar sendiri produktivitasnya, dan/atau (4) memilih tanah yang keadaan alaminya sesuai dengan kebutuhan suatu macam pertanaman tertentu, berarti perwilayahan budidaya tanaman menurut kemampuan tanah. Dalam hal pengelolahan tanah dikerjakan dengan mesin, jalan ketiga juga menghemat energi fosil yang digunakan untuk mengolah tanah. Energi untuk mengolah tanah juga dapat dihemat dengan menggunakan bahan pembenah tanah (soil amendment). Dengan mempertahankan struktur dan konsistensi tanah yang baik, dapat diterapkan asas pengolahan tanah minimum (minimum tillage), bahkan asas tanpa pengolahan tanah (zero tillage).
Peranan ilmu tanah dalam pilihan ketiga ialah menemukan alternatif pembekalan hara dalam tanah. Suatu alternatif yang sekarang yang sedang giat dikembangkan ialah memapankan di dalam tanah suatu mekanisme hayati pembekalan hara dengan bioteknologi tanah. Upaya ini dikenal dengan budidaya organik (organic farming). Budidaya organik merupakan suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati (Papendick dan Elliott, 1984). Masukan yang digunakan dalam budidaya organik ialah pupuk organik dan pupuk hayati (biofertilizer). Pupuk hayati ialah sediaan organik yang peran ameliorasinya berasal dari kandungan jasad renik aktif. Yang termasuk pupuk hayati antara lain inokulum Rhizobium, inokulum mikorisa, biakan jasad renik pelarut fosfat, dan biakan jasad renik pengurai bahan organik.
Salah satu upaya yang termasuk pilihan keempat ialah sistem gizi tanaman terpadu (intergrated plant nutrition system, IPNS). Dalam IPNS sebagian kebutuhan masukan energi fosil berupa pupuk buatan kimia disulih dengan masukan energi hayati terbarukan berupa pupuk organik dan/atau pupuk hayati. Di dalam IPNS mekanisme hayati dibangkitkan untuk membentuk sistem bekalan hara di dalam tanah yang efektif dan mantap. Pembentukan ini memerlukan waktu panjang. Sementara itu digunakan pupuk buatan kimia untuk memasok hara sebelum sistem bekalan hara hayati dapat berfungsi secara berkelanjutan. Di bawah binaan FAO (1991) IPNS tengah digalakkan di kawasan Asia dan Pasifik. Jadi, IPNS menggabungkan pilihan pertama dengan ketiga. Upaya lain ialah menggabungkan pilihan kedua dan ketiga, atau menggabungkan pilihan pertama, kedua dan ketiga.
Kepentingan mendesak akan penggunaan energi baru dan terbarukan yang diprioritaskan pada energi pedesaan, dicetuskan dalam "Nairobi Programme of Action". Program ini kemudian didukung FAO dalam sidangnya yang ke-21 di Roma dalam bulan November 1981 dan dipertegas kembali dalam Sidang Regional FAO untuk Asia dan Pasifik ke-16 di Jakarta dalam bulan Juni 1982. Sifat energi terbarukan selalu berkaitan, baik langsung maupun tidak, dengan alam hayati masa kini. Program Nairobi merupakan awal pengembangan budidaya organik.
Beberapa tahun sebelumnya East-West Center di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, telah mengaji dan mengembangkan suatu sistem merasionalkan pemupukan yang berintikan penghematan penggunaan pupuk buatan kimia yang berkadar energi fosil tinggi. Upaya ini dikerjakan bersama dengan sejumlah negara Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia (Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM). Kegiatan ini dijalankan dengan proyek I.N.P.U.T.S. (Increasing Productivity Under Tight Supplies), yang dimulai pada tahun 1974 dan berakhir pada tahun 1979.
Dalam gambarannya mengenai pertanian pada abad ke-21, Wittwer (1983) meramalkan bahwa teknologi produksi pangan akan bergeser dari teknologi bermekanisasi berat yang menggunakan lahan, air dan energi secara intensif ke teknologi yang lebih berdasarkan biologi dan berkiblat ilmiah, yang menghemat sumberdaya lahan, air dan energi. Teknologi tersebut pertama, yang sekarang diterapkan terutama di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Brasil dan Argentina, mempunyai keunggulan dalam hal keluaran tiap pekerja usahatani tertinggi di dunia. Teknologi tersebut kedua, yang dewasa ini pada umumnya dilaksanakan di Jepang, Taiwan, Cina dan Eropa Barat, mempunyai keunggulan dalam hal hasil panen lebih tinggi tiap satuan luas lahan dan sering juga disertai dengan indeks pertanaman (cropping index) yang lebih tinggi. Memang produktivitasnya per pekerja usahatani tidak setinggi teknologi pertama. Dengan kata lain, dunia kita akan berpindah dari ekonomi yang digerakkan oleh permintaan dengan pandangan ketidakterbatasan sumberdaya ke suatu ekonomi yang berwawasan keterbatasan sumberdaya.
Dalam kaitannya dengan tanah, gambaran pertanian abad ke-21 mengisyaratkan upaya menyidik kebutuhan keharaan optimum berbagai spesies tanaman dan merunut sumbangan flora dan fauna tanah kepada penyediaan hara yang bersumber dalam atmosfer dan tanah. Mekanisme sistem hayati yang berkomponen ganda dan kompetitif perlu ditelaah mendalam untuk mencapai produktivitas optimum. Hal ini tidak lain daripada upaya mengembangkan budidaya organik atau IPNS dengan pupuk organik dan pupuk hayati . Penggunaan jasad renik penambat nitrogen udara, baik yang hidup bebas maupun yang hidup bersimbiosis dengan tanaman tingkat tinggi (legum), terbukti dapat mengurangi banyak kebutuhan pupuk nitrogen buatan. Pendauran ulang sisa atau limbah hayati, baik melalui pencernaan ternak yang menghasilkan kotoran ternak atau pupuk kandang, melalui pengomposan yang menghasilkan kompos, maupun melalui perombakan biologi langsung dalam tanah yang merupakan pupuk hijau, tidak sedikit mengurangi kebutuhan pupuk buatan, khususnya pupuk N dan P.
Inokulasi mikorisa pada tanaman sangat meningkatkan daya akar menyerap hara, terutama P, dan air, sehingga penggunaan hara dan air menjadi lebih hemat. Diperkirakan perlumbuhan mikorisa yang baik memperluas permukaan serapan akar sampai 1000 kali. Dengan biakan jasad renik pelarut fosfat, pupuk fosfat buatan yang mahal (TSP) dapat disulih dengan pupuk fosfat alam yang murah dan awet dalam tanah. Menyulih TSP dengan fosfat alam di tanah yang kaya akan oksida dan hidroksida Fe dan Al (tanah merah tropika) meningkatkan efektivitas pemupukan P.
Penggunaan pupuk organik atau mulsa menjadi prasyarat bagi penerapan pengolahan tanah terbatas atau nihil. Bahan-bahan tersebut juga berperan penting dalam konservasi tanah dan air. Konservasi air dalam tanah berarti mengurangi kebutuhan akan air irigasi, dan hal ini pada gilirannya membatasi keperluan membangun bendung (weir) atau waduk, atau memasang pompa untuk menaikkan air sungai atau air tanah. Sistem konservasi air yang baik, yang menyatu dengan sistem budidaya pertanaman, akan mendorong perkembangan pertanian tadah hujan.
Pertanian tadah hujan memanfaatkan energi alam gravitasi untuk menyampaikan air dari atmosfer langsung kepada petak pertanaman. Ada dua keuntungan yang dapat diperoleh dari sistem pertanian tadah hujan. Keuntungan pertama ialah tidak ada kehilangan lahan produksi karena ditempati oleh waduk dan jaringan saluran penyalur dan pembagi air sebagaimana halnya pada sistem pertanian beririgasi. Fakta di Indonesia menunjukkan bahwa untuk mengairi lahan sawah seluas 20-25 ribu ha diperlukan lahan seluas tidak kurang daripada 10 ribu ha yang harus dikorbankan untuk menempatkan waduk dan jaringan saluran penyalur dan pembagi air mulai dari tingkat primer sampai dengan tingkat kuarter. Keuntungan kedua ialah tidak ada kerugian air yang hilang dalam simpanan di dalam waduk karena penguapan yang dipacu oleh bentangan permukaan air bebas yang luas dan diam yang menyebabkan suhu air dapat naik lebih tinggi, dan tidak ada air yang hilang merembes liwat dinding dan dasar saluran penyalur dan pembagi air. Kehilangan air sebanyak 30% boleh dibilang umum terjadi di jaringan saluran tersier pada lahan pantai di Jawa.
Hujan merupakan sumber air paling murah. Di daerah dengan curah hujan tahunan purata di atas 1200 mm dapat diusahakan pertanaman semusim tadah hujan dengan potensi produksi setaraf dengan yang beririgasi (Roy & Arora, 1973). Masalahnya ialah bagaimana menangkap air hujan sebaik-baiknya, mengalihrupakannya secara efektif menjadi lengas tanah yang berguna bagi tanaman, mengawetkan lengas tanah sehingga dapat memenuhi kebutuhan tanaman sampai hujan berikutnya jatuh, dan bilamana perlu membuang kelebihan air secara aman tanpa menimbulkan erosi tanah dan pelindian hara (leaching of nutrients) yang melampui batas terbolehkan (permissible limit). Di sinilah peranan ilmu tanah menonjol. Ilmu tanah tidak pernah menganjurkan irigasi penuh, kecuali di daerah-daerah yang beriklim terlalu kering selama seluruh musim tanam. Penggunaan sumber air permukaan dan air tanah untuk irigasi suplemental adalah cara pengelolaan sumber terbaik. Dalam cara itu sudah dipertimbangkan pengawetan sumber air dan pemerataan beban penggunaan antar berbagai sumber air.
Kalau diperlukan irigasi atau pengatusan, penggunaan energi gravitasi jauh lebih baik daripada menggunakan pompa yang memakan banyak energi komersial. Apalagi kalau pompa dijalankan dengan energi listrik yang dikonversikan dari energi fosil minyak. Efisiensi konversinya pada lazimnya tidak lebih daripada 35%. Kebutuhan energi komersial untuk irigasi atau pengatusan dapat ditekan serendah-rendahnya apabila listrik yang digunakan menjalankan pompa berasal dari PLTA atau yang dibangkitkan secara fotovoltaik.
Irigasi di daerah langka hujan perlu disertai kewaspadaan terhadap kemungkinan penggaraman tanah. Karena penguapan kuat, lambat laun terjadi pemekatan garam yang terlarut dalam air, yang kemudian mengendap dan melonggok dalam tanah. Tanah yang semula normal berubah menjadi tanah garaman. Apabila pelonggokan garam mencapai kadar gawat, tidak ada lagi tanaman yang dapat tumbuh, kecuali yang sangat tahan garam, misalnya pohon korma, bayam dan kapas, atau tumbuhan halofita liar. Makin kering iklimnya, berarti makin besar evaporasinya daripada curah hujannya, makin tinggi kadar garam terlarutkan dalam air irigasi, dan/atau makin lambat permeabilitas tubuh tanah, bahaya penggalarnan tanah karena irigasi makin besar. Kejadian semacam inilah yang telah menghancurkan pertanian yang semula sangat subur di lembah sungai Eufrat - Tigris pada jaman kerajaan Mesopotamia yang sekarang menjadi negara Irak. Pengetahuan tentang kimiawi air irigasi, laju evaporasi, reaksi pertukaran ion antara larutan tanah dan kompleks jerapan tanah, serta laju perkolasi air sepanjang tubuh tanah, diperlukan secara mutlak bagi perencanaan irigasi di daerah iklim kering.
Ilmu tanah berkepentingan dengan peningkatan efektivitas penggunaan energi pancar matahari untuk fotosintesis sehubungan dengan peningkatan penghasilan biomassa nabati. Peningkatan produksi biomassa nabati diperlukan untuk memperbanyak sisa pertanaman yang dapat didaurkan ulang sebagai pupuk organik atau mulsa untuk memperbaiki produktivitas tanah, atau mempertahankan kebaikannya, dan menyehatkan ekosistem tanah. Menyehatkan ekosistem tanah, disamping diperlukan sehubungan dengan memantapkan produktivitas tanah dan meningkatkan efektivitas pupuk, juga berguna menekan penyakit lewat tanah (soil-borne diseases) yang menyerang akar dan pangkal batang tanaman (Lynch, 1983; Christensen, 1987). Maka ilmu tanah dapat berbicara banyak dalam merancang pola tanam dan sistem pertanaman dengan agronomi. Dengan konsep penyehatan tanah, ilmu tanah dapat membantu upaya menghemat pestisida, yang berarti menghemat energi fosil atau energi komersial dan menekan bahaya pencemaran atas perairan.
Dengan sifat-sifat fisik, kimia dan biologinya, suatu hamparan tanah dapat digunakan membersihkan limbah industri dan permukiman dari bahan atau zat pencemar. Dengan struktur yang dimilikinya, tanah dapat menyaring bahan pencemar yang tersuspensi dalam limbah cair. Dengan kemampuan menukar ion pada mineral lempung dan bahan humus yang dikandungnya, tanah dapat menyerap zat pencemar berupa ion yang terlarut dalam limbah cair. Dengan populasi jasad renik pengurai yang hidup di dalamnya, tanah dapat menguraikan senyawa organik pencemar menjadi senyawa organik sederhana atau senyawa mineral yang tidak berbahaya. Dengan demikian ilmu tanah dapat menyumbang kepada rekayasa sanitasi lingkungan.
Orang yang pernah berkendaraan mobil meliwati perbukitan napal (marl) atau gamping yang bertanah hitam, tentu merasakan ayunan khas bagaikan naik kapal. Hal itu disebabkan karena tanah semacam itu (vertisol) mempunyai konsistensi yang amat goyah berkenaan dengan kandungan mineral lempung montmorilonit yang merajai. Sewaktu basah tanah ini mudah membengkak, melunak dan menjadi sangat liat, sedang sewaktu kering mudah mengerut, meretak lebar dan menjadi sangat keras. Oleh tekanan beban tanah yang basah cenderung melongsor, dan tanah yang kering cenderung gugur masuk ke dalam retakan-retakan. Maka karena pengaruh perubahan kelembaban musiman permukaan tanah vertisol menjadi bergelombang, atau disebut mempunyai timbulan mikro (microrelief) gilgai. Dengan teknologi perangai tanah ini dapat dikendalikan. Perubahan kadar lengas dalam tanah dicegah jangan sampai terlalu besar agar supaya konsistensi tanah lebih mantap, atau struktur tanah dimantapkan dengan bahan pembenah tanah (soil conditioner) sehingga konsistensi tanah tidak mudah berubah karena perubahan kadar air. Berdasarkan peta tanah rencana jalur jalan raya dapat dibuat menghindari daerah bertanah vertisol, atau bilamana tidak mungkin menghindarinya dapat menetapkan ruas jalan mana dan berapa panjangnya yang memerlukan konstruksi khusus. Jadi, peta tanah yang semula dibuat untuk keperluan pertanian, dapat dimanfaatkan untuk rekayasa jalan raya.
Laporan penyigian tanah (soil survey) dan peta tanah bermanfaat pula untuk menyusun rencana tata permukiman dan peruntukan kawasan industri. Misalnya, sanitasi lingkungan tempat tinggal perlu menetapkan berapa jarak aman menurut ukuran kesehatan antara sumur rumah tangga dan comber (septic tank), berapa besar ukuran comber yang efektif, atau berapa ukuran dan kerataan sumur resapan yang diperlukan untuk mempertahankan kelancaran pengatusan dan pengisian cadangan air tanah. Hal-hal itu tergantung pada daya resap tanah atau daya antar airnya ke arah samping dan ke arah bawah, baik dalam keadaan tak jenuh maupun dalam keadaan jenuh.
Peta tanah berisi petunjuk jalur dan jeluk (depth) penanaman jaringan pipa penyalur minyak atau air untuk menghindari atau sekurang-kurangnya membatasi kerusakan pipa karena korosi oleh tanah masam sulfidik atau sulfurik, atau keretakan karena tekanan tanah vertik yang membengkak dan mengerut kuat sejalan dengan perubahan kadar air musiman. Korosi pipa penyalur minyak menjadi persoalan berat di daerah perminyakan Balikpapan karena sebagian jalur pipa meliwati tanah sulfat masam.
Dengan peta tanah pemekaran kota dapat diatur sehingga tidak banyak menghabiskan tanah yang baik untuk pertanian. Juga dapat memilih tapak (sites) yang tanahnya tidak mengandung persoalan pengatusan yang berat. Peta tanah sebagai himpunan statistik tanah yang bermatra ruang diperlukan dalam menyusun peraturan perundangan tentang lahan dan untuk melandasi petunjuk pelaksanaanya agar mencerminkan kekhususan kedaerahan. Informasi tanah yang terdapat dalam laporan penyigian tanah atau yang teringkas pada peta tanah dapat dimanfaatkan untuk mengadilkan penetapan pajak bumi. Berdasarkan informasi itu taksiran nilai tanah atau tingkat pengembangan lahan (land development) yang telah dicapai dapat dibuat secara lebih terandalkan (Bartelli et al., 1966).
sumber : Tejoyuwono Notohadiprawiro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar