Selasa, Maret 18, 2014

Lahan Kering di Kalimantan Selatan

Hingga saat ini pengertian lahan kering di Indonesia belum disepakati secara benar. Di dalam bahasa Inggris banyak istilah-istilah yng dipadankan dengan lahan kering seperti upland, dryland dan unirrigated land, yang menyiratkan penggunan pertanian tadah hujan. Istilah upland farming, dryland farming dan rainfed farming dua istilah terakhir yang digunakan untuk pertanian di daerah bercurah hujan terbatas. Penertian upland mengandung arti lahan atasan yang merupakan lawan kata bawahan (lowland) yang terkait dengan kondisi drainase (Tejoyuwono, 1989).
Lahan kering umumnya terdapat didataran tinggi (daerah pegunungan) yang ditandai dengan topografinya yang bergelombang dan merupakan daerah penerima dan peresap air hujan yang kemudian dialirkan kedataran rendah, baik melalui permukaan tanah (sungai) maupun melalui jaringan bumi air tanah. Jadi lahan kering didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan pertaniannya lebih banyak menggantungkan diri pada curah hujan. Lahan kering diterjemahkan dari kata “upland” yang menunjukkan kepada gambaran “daerah atas” (Hasnudi dan Saleh, 2006).
Kesepakatan pengertian lahan kering dalam seminar nasional pengembangan wilayah lahan kering ke 3 di Lampung : (upland dan rainfed) adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi (Suwardji, 2003). Definisi yang diberikan oleh soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati (2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang. Lahan kering dalam keadaan alamiah memiliki kondisi antara lain peka terhadap erosi, terutama bila keadaan tanahnya miring atau tidak tertutup vegetasi, tingkat kesuburannya rendah, air merupakan faktor pembatas dan biasanya tergantung dari curah hujan serta lapisan olah dan lapisan bawahnya memiliki kelembaban yang amat rendah.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan tahun 2007 wilayah Kalsel memiliki lahan kering seluas 1.780.864 Ha dan baru dimanfaatkan untuk perkebunan seluas 670.480. Jadi masih ada sisa seluas 1.110.384 Ha. Sebagian besar didominasi oleh jenis tanah podsolik merah kuning yang tergolong marginal.
Sebaran tanah kering yang ada di kalimantan selatan terdiri dari Entisol 3.698.000 ha, Inceptisol 14.903.000 ha, Andisol 237.000 ha, Molisol 685.000 ha, Ultisol 21.938.000 ha dan Oxisol 4.521.000 ha. Tanah yang termasuk ordo Entisol merupakan tanah-tanah yang masih sangat muda yaitu baru tingkat permulaan dalam perkembangan. Tidak ada horison penciri lain kecuali epipedon ochrik, albik atau histik. Tanah yang termasuk ordo Inceptisol merupakan tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada Entisol. Tanah inceptisols umumnya mempunyai horison kambik. Tanah ini belum berkembang lanjut, sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Tanah-tanah Andisol pada umumnya mempunyai karakteristik utama yaitu memiliki sifat andik, yaitu satu sifat tanah yang mengandung jumlah mineral Al (aluminium) ditambah fi Fe (ferum/besi) lebih dari atau sama dengan 2 persen, dan berat jenisnya kurang dari 9 gr/cc, serta memiliki retensi fosfat lebih dari 85%; atau memiliki paling sedikit 30% fraksinya berukuran 0,002 - 2 mm, serta memiliki kandungan gelas vulkanik antara 5 persen sampai lebih dari 30% (tergantung kandungan jumlah Al dan fi Fe-nya). Tanah yang termasuk ordo Mollisol merupakan tanah dengan tebal epipedon lebih dari 18 cm yang berwarna hitam (gelap), kandungan bahan organik lebih dari 1%, kejenuhan basa lebih dari 50%. Agregasi tanah baik, sehingga tanah tidak keras bila kering. Kata Mollisol berasal dari kata Mollis yang berarti lunak. Tanah yang termasuk ordo Oxisol merupakan tanah tua sehingga mineral mudah lapuk tinggal sedikit. Kandungan liat tinggi tetapi tidak aktif sehingga kapasitas tukar kation (KTK) rendah, yaitu kurang dari 16 me/100 g liat. Banyak mengandung oksida-oksida besi atau oksida Al. Berdasarkan pengamatan di lapang, tanah ini menunjukkan batas-batas horison yang tidak jelas. Tanah yang termasuk ordo Ultisol merupakan tanah-tanah yang terjadi penimbunan liat di horison bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35% (Hidayat dan Mulyani, 2002).
Berdasarkan tingkat kemasaman tanah, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan kering masam yang dicirikan oleh pH < 5,0 dan kejenuhan basa < 50%, termasuk dalam kelompok ini adalah tanah-tanah yang mempunyai sifat distrik. Sebaliknya lahan kering tidak masam dicirikan dengan pH > 5,0 dan kejenuhan basa > 50% yang didominasi oleh tanah-tanah bersifat eutrik. Tanah-tanah di lahan kering mempunyai tingkat kemasaman yang tinggi sekitar 99.6 juta (69.17%) dan sisanya termasuk tidak masam, yaitu sekitar 44,4 juta ha (30,8%) (Tabel 7). Tanah-tanah yang termasuk kelompok masam di lahan kering beriklim basah (udik) antara lain : Entisol, Inceptisol, Ultisol, dan Oxisol. Sedangkan lahan kering yang tidak masam umumnya terdiri dari Inceptisol, Vertisol, Mollisol, dan Alfisol dan berada di wilayah iklim kering (ustik) (Hidayat dan Mulyani, 2002).
Lahan kering tergolong suboptimal karena tanahnya kurang subur, bereaksi masam, mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Lahan masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg. Pemberian bahan ameliorasi kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K merupakan kunci untuk memperbaiki kesuburan lahan kering masam. Pada umumnya lahan kering masam didominasi oleh tanah Ultisol, yang dicirikan oleh kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang/menyimpan air yang rendah, tetapi kadar Al dan Mn tinggi. Oleh karena itu, kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kadar bahan organik pada lapisan atas, dan bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin hara dan bahan organik. Di samping itu, kekahatan fosfor merupakan salah satu kendala terpenting bagi usaha tani di lahan masam. Hal ini karena sebagian besar koloid dan mineral tanah yang terkandung dalam tanah Ultisol mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi, sehingga sebagian besar fosfat dalam keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak tersedia bagi tanaman maupun biota tanah (Notohadiprawiro, 2006).
Sebagian besar ultisol di Kalimantan adalah tropodult. Jenis udult sukar untuk digunakan secara intensif karena kandungan hara di bawah lapisan permukaan rendah dan komposisi antara kandungan aluminium yang tinggi dan keasaman yang kuat. Secara tradisional penduduk setempat telah menggunakan tanah ini untuk perladangan berpindah dengan tanaman berumur pendek dan masa bera yang lebih panjang supaya kesuburan tanah pulih kembali. Cara ini memberikan kesempatan bagi lapisan permukaan tanah untuk mengumpulkan humus dan bahan organik lagi yang penting bagi cadangan hara dan untuk mengatur kelembaban dan suhu tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. Dan Irman. 1997. Ameliorasi Lahan Kering Masam untuk Tanaman Pangan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan. Balitbangtan Deptan. Hal. 1665-1675.
Arief. 2008. Geografi tanah Indonesia. feiraz.files.wordpress.com. Diakses 05 Juli 2009.
Hanafiah,AK. 2007. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Edisi 2. Raja Gravindo Persada.Jakarta . pp 139-165.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta. 273 p.
Hidayat, A. Dan A. Mulyani. 2005. Lahan Kering untuk Pertanian. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. pp 8-35.
Himatan. 2006. Pembentukan dan Profil Tanah. Himpunan Ilmu Tanah Universitas Padjajaran. Hiatan06.files.wordpress.com. Diakses 05 Juli 2009.
Kuswandi. 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Kanisius Yogyakarta.Edisi 1.
Notohadiprawiro,T. 2006. Ultisol, Fakta dan Implikasi Pertaniannya. Buletin Pusat Penelitian Marihat . No. 6. 2006.
Nursyamsi, Dedi. 2004. Makalah Sekolah Pasca Sarjana / S3beberapa Upaya Untuk Meningkatkan Produktivitas Tanah di Lahan Kering. Institut Pertanian Bogor.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Suriadikarta, dan Prasetyo, B.H. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi Pengelolaan tanah ultisol untuk Pengembangan pertanian lahan Kering di Indonesia. Balai Penelitian Tanah. Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman