Rabu, Desember 21, 2011

Sifat Fisika & Kimia Tanah Ultisols

Ultisol mengandung berbagai kendala berat untuk budidaya tanaman yang saling berkaitan. Hal ini menuntut penanganan serentak. Menyelesaikan satu kendala tanpa menghiraukan yang lain justru dapat menimbulkan persoalan yang lebih berat. Segala persoalan yang muncul dalam ultisol bersumber pada sejarah pembentukannya. Tanah ini dibentuk oleh proses pelapukan dan pembentukan tanah yang sangat intensif karena berlangsung dalam lingkungan iklim tropika dan subtropika yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi. Vegetasi klimaksnya adalah hutan rimba. Dalam lingkungan semacam ini reaksi hidrolisis dan asidolisis serta proses pelindian (leaching) terpacu kuat. Asidolisis berlangsung kuat karena air infiltrasi dan perkolasi mengambil CO hasil mineralisasi bahan organik berupa serasah hutan dan hasil pernafasan akar tumbuhan hutan. Menurut Hardon (cit. Volobuev, 1964) produksi tahunan bersih bahan ogranik dalam hutan primer tropika di Jawa ialah 25 ton ha. Longman dan Jenik (1974) menyebutkan angka rerata 20 dengan kisaran 10-50 ton/ ha/ th bahan kering untuk hutan tropika di dunia. Produksi serasah tahunan dalam hutan menurut Volobuev (1964) berkisar antara 1 dan 4% dari biomassa total. Longman dan Jenik (1974) mengajukan angka biomassa total hutan tropika sebesar rerata 450 ton/ ha bahan kering dengan kisaran 60-800 ton/ha Maka produksi serasah tahunan dapat diperkirakan minimum 0,6 dan maksimum 32 ton/ ha dengan kisaran tengah 4,5 hingga 18 ton/ ha
Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala (constrain) yang ada pada Ultisol ternyata dapat merupakan lahan potensial apabila iklimnya mendukung. Tanah Ultisol memiliki tingkat kemasaman sekitar 5,5 (Munir, 1996).
Tanah Ultisol memiliki kemasaman kurang dari 5,5 sesuai dengan sifat kimia, komponen kimia tanah yang berperan terbesar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya pada kesuburan tanah. Nilai pH yang mendekati minimun dapat ditemui sampai pada kedalaman beberapa cm dari dari batuan yang utuh (belum melapuk). Tanah-tanah ini kurang lapuk atau pada daerah-daerah yang kaya akan basa-basa dari air tanah pH meningkat pada dan di bagian lebih bawah solum (Hakim,dkk. 1986).
Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua. Di Indonesia banyak ditemukan di daerah dengan bahan induk batuan liat. Tanah ini merupakan bagian terluas dari lahan kering di Indonesia yang belum dipergunakan untuk pertanian. Problem tanah ini adalah reaksi masam, kadar Al tinggi sehingga menjadi racun tanaman dan menyebabkan fiksasi P, unsur hara rendah, diperlukan tindakan pengapuran dan pemupukan, keadaan tanah yang sangat masam sangat menyebabkan tanah kehilangan kapasitas tukar kation dan kemampuan menyimpan hara kation dalam bentuk dapat tukar, karena perkembangan muatan positif, dan dicirikan dengan warna tanah yang merah-kuning.(Hardjowigeno,1993).
Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo et al. 1986; Suharta dan Prasetyo 1986; Rachim et al. 1997; Suhardjo dan Prasetyo 1998; Alkusuma 2000; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys1970; Allen dan Hajek 1989; Schwertmanndan Taylor 1989).
Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya.Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Suharta dan Prasetyo 1986), sedangkan tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus (Subardja 1986; Subagyo et al.1987; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).
Ultisol umumnya mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut (Rachim et al. 1997; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur Ultisol. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang halus.
Ciri morfologi yang penting pada Ultisol adalah adanya peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizon seperti yang disyaratkan dalam Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 2003). Horizon tanah dengan peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon tersebut dapat dikenali dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari penampang profil tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat menembus horizon ini dan hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et al. 1993).
Tanah berordo Ultisols kebanyakan memiliki sifat tanah yang masam, karena material di dalam profil tanah banyak mengandung mineral kuarsa dan seskuioksida besi (Fe) dan aluminium (Al), sementara mineral- mineral lainnya amat sedikit. Berdasarkan hal ini ditambah beberapa ciri lainnya. Mineral-mineral tersebut memiliki kapasitas menahan hara (KTK) yang rendah, demikian pula potensi kandungan hara rendah.
Pada kondisi demikian, tanaman pada umumnya mengalami kekurungan unsur hara. Dipihak lain kandungan unsur Al sangat tinggi, sehingga mengakibatkan terjadinya keracunan bagi tanaman yang tumbuh di daerah ini. Terkikisnya lapisan tanah atas karena erosi akan menambah seriusnya masalah keracunan Al, karena lapisan bawah memiliki kandungan Al lebih tinggi.
Pada kenyataannya, keberadaan lahan kering yang sangat luas dan potensial tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal bagi pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Kecenderungannya, keberadaan lahan kering telah terpinggirkan dan terbiaskan oleh program pembangunan pertanian yang terlalu fokus pada padi, perkebunan, dan sayuran dataran tinggi. Sampai saat ini belum ada komoditas unggulan yang bernilai ekonomis tinggi yang dihasilkan dari zona agroekosistem lahan kering. Ubi kayu, jagung, ubi jalar, padi gogo, dan kacangkacangan merupakan komoditas utamanya. Meskipun keenamnya disebut sebagai komoditas utama lahan kering, namun secara ekonomi semua komoditas tersebut belum mampu memberikan jaminan harga dan kehidupan yang layak (kesejahteraan) kepada sebagian besar pelaku utamanya, yaitu petani.
Ciri tanah ultisol yang terutama menjadi kendala bagi budaya tanaman ialah :
1. pH rendah
2. Kejenuhan Al tinggi ; kemungkinan besar juga Fe dan Mn aktif tinggi
3. Lempung beraktivitas rendah (LAC) bermuatan terubahkan (variable charge)
4. Daya semat terhadap fosfat kuat
5. Kejenuhan basa rendah ; kadar Cu rendah dalam tanah yang berasal dari bahan induk masam (feksil ) atau batuan pasir, sedang kadar Zn biasanya cukup namun cenderung terilluviasi dalam horison B (Aubert & Pinta, 1977) ; Krauskopf, 1979).
6. Kadar bahan organik rendah dan itupun terlonggok dalam lapisan permukaan tipis (horison A tipis) dan dengan sendirinya kadar N pun rendah serta terbatas dalam lapisan permukaan tipis itu
7. Daya simpan air terbatas
8. Jeluk (depth) efektif terbatas, terutama pada acrisol yang horison ariliknya berkembang tegas dan dangkal
9. Derajat agresi rendah dan kemantapan agregat lemah (Notohadiprawiro, 1973), yang menyebabkan tanah rendah (susceptible) terhadap erosi yang menjadi kendala pada lahan belerang, dan rentan terhadap pemampatan (compaction) yang menjadi kendala, baik pada lahan berlereng, maupun pada lahan yang datar.
Volobuev (1964) menyebutkan bahwa jumlah akar yang lapuk tiap tahun dalam hutan yang telah berkembang penuh kira-kira sama dengan jumlah serasahnya. Angka ini dapat memberikan bayangan betapa besar produksi CO dalam mineralisasi bahan organik hutan dan konsekuensinya atas intensitas reaksi asidolisis dengan mineral tanah. Asidolisis diperkuat dengan asam organik yang dihasilkan oleh perombakan bahan organik yang tidak sempurna. Kemasaman serasah juga berkaitan dengan jenis tumbuhan yang menghasilkannya. Ini bergantung pada imbangan gugus asam dengan gugus basa yang ada dalam jaringan. Ada tumbuhan yang menghasilkan serasah masam (misalnya conifera) dan ada yang menghasilkan serasah tidak masam (misalnya pohon kayu keras). Pembandingan tumbuhan masam dengan yang tidak masam menunjukan bahwa yang masam berkadar Ca, Mg, K dan P jauh lebih rendah sedang N jauh lebih tinggi dari pada yang tidak masam (Luts dan Chandler, 1951). Memang fakta telah menunjukan bahwa banyak tanah hutan bersifat masam (Ulrich,1983).
Pelapukan masam di dalam hutan membebaskan basa dari mineral tanah secara cepat. Apabila hal ini berlangsung dalam suatu lingkungan yang berdaya lindi kuat pada akhirnya terbentuk tanah masam yang miskin hara. Ai, Fe dan Mn menjadi banyak terbebaskan dan dapat melonggok dalam jumlah yang meracun tanaman. Persoalan yang bertambah berat apabila bahan induk tanah sudah bersifat masam dan kersikan (siliceous).Justru inilah yang terutama dijumpai di Sumatera. Nama ultisol dan acrisol dipilih untuk mengisyaratkan keadaan tanah yang buruk. Suku formatif ult dalam ultisol diambil dari kata Yunani ultimulus yang berarti akhir atau terakhir.
Suku formatif acr dalam acrisol diambil dari kata Yunani akros yang berarti pada akhirnya, yang dijabarkan menjadi makna "pelapukan luar biasa". Acr juga dapat diambil dari kata Latin acris yang berarti sangat masam, yang dijabarkan menjadi makna :kejenuhan basa rendah" (USDA,1975; Fitz Patrick, 1980). Suku formatif ini dalam nitosol diambil dari kata nitidus dalam bahasa Latin yang berarti mengkilat untuk menunjukkan salah satu cirinya yang khas, yaitu satuan struktur gumpal bermuka mengkilat (Fitz Patrick, 1980). Jadi, nama nitosol tidak mengisyaratkan keadaan tanah yang buruk seperti kedua nama tersebut di atas. Maka nitosol adalah tanah podsolik merah-kuning yang lebih baik dari pada yang masuk acrisol.
Lempung beraktivitas rendah dan bermuatan terubahkan menyebabkan tanah berkelakuan kimiawi khusus yang menimbulkan persoalan rumit berkenaan dengan usaha ameliorasi kimiawi (pemupukan, pengapuran, pembenahan struktur). Kerentanan terhadap terhadap erosi menyebabkan risiko erosi meningkat di atas proporsional karena komponen kesuburan tanah yang sudah terbatas itu justru terkumpul dalam lapisan permukaaan, tipis dan merosot tajam ke arah bawah tubuh tanah. Ini berarti bahwa simpanan kesuburan berada pada kedudukan yang paling mudah terserang erosi. Maka untuk tanah ini pengertian laju erosi terbolehkan (permissible rate of erosion) perlu ditinjau kembali. Laju erosi terbolehkan penting karena menjadi dasar perancangan pemanfaatan lahan yang memberikan peluang lebih banyak untuk memilih jenis pemanfaatan yang lebih memenuhi kebutuhan atau keinginan penduduk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman