Jumat, April 09, 2010

SIFAT KIMIA TANAH

Tekstur tanah tersusun dari tiga komponen, yaitu: pasir, debu dan liat. Ketiga komponen tersebut dibedakan berdasarkan ukurannya yang berbeda. Partikel pasir berukuran antara 200 mikrometer sampai dengan 2000 mikrometer. Partikel debu berukuran antara 2 mikrometer sampai dengan kurang dari 200 mikrometer. Partikel liat berukuran kurang dari 2 mikrometer. Makin halus ukuran partikel penyusun tanah tersebut akan memiliki luas permukaan partikel per satuan bobot makin luas. Partikel tanah yang memiliki permukaan yang lebih luas memberi kesempatan yang lebih banyak terhadap terjadinya reaksi kimia. Partikel liat persatuan bobot memiliki luas permukaan yang lebih luas dibandingkan dengan kedua partikel penyusun tekstur tanah lain (seperti: debu dan pasir). Reaksi-reaksi kimia yang terjadi pada permukaan patikel liat lebih banyak daripada yang terjadi pada permukaan partikel debu dan pasir persatuan bobot yang sama. Dengan demikian, partikel liat adalah komponen tanah yang paling aktif terhadap reaksi kimia, sehingga sangat menentukan sifat kimia tanah dan mempengaruhi kesuburan tanah.
Beberapa sifat kimia tanah yang penting untuk diketahui dan dipahami, meliputi:
(1) pH Tanah,
pH adalah tingkat keasaman atau kebasa-an suatu benda yang diukur dengan menggunakan skala pH antara 0 hingga 14. Sifat asam mempunyai pH antara 0 hingga 7 dan sifat basa mempunyai nilai pH 7 hingga 14.
pH tanah atau tepatnya pH larutan tanah sangat penting karena larutan tanah mengandung unsur hara seperti Nitrogen (N), Potassium/kalium (K), dan Pospor (P) dimana tanaman membutuhkan dalam jumlah tertentu untuk tumbuh, berkembang, dan bertahan terhadap penyakit. Jika pH larutan tanah meningkat hingga di atas 5,5. Nitrogen (dalam bentuk nitrat) menjadi tersedia bagi tanaman. Di sisi lain Pospor akan tersedia bagi tanaman pada pH antara 6,0 hingga 7,0.
Jika larutan tanah terlalu masam, tanaman tidak dapat memanfaatkan N, P, K dan zat hara lain yang mereka butuhkan. Pada tanah masam, tanaman mempunyai kemungkinan yang besar untuk teracuni logam berat yang pada akhirnya dapat mati karena keracunan tersebut. Jika tanah terlalu masam oleh karena penggunaan pestisida, herbbisida, dan fungisida tidak akan terabsorbsi dan justru akan meracuni air tanah serta air-air pada aliran permukaan.
Faktor yang mempengaruhi pH tanah adalah tipe vegetasi, drainase tanah internal, dan aktivitas manusia. Nilai pH suatu tanah juga dipengaruhi oleh jenis bahan induk tanah yang dibentuk. Tanah berkembang dari batuan dasar umumnya memiliki nilai pH lebih tinggi daripada yang terbentuk dari batuan asam. Curah hujan juga mempengaruhi pH tanah. Air melewati tanah dasar mencuci kalsium dan magnesium dari tanah dan digantikan oleh unsur-unsur asam seperti aluminium dan besi. Tanah yang terbentuk di bawah kondisi curah hujan tinggi lebih asam daripada yang dibentuk di bawah gersang (kering) kondisi.
Proses yang menghasilkan keasaman tanah
a. karbon dioksida hasil dari dekomposisi seresah akan terlarut dalam air akan bereaksi dengan molekul air menghasilkan asam karbonat
CO2(gas)  CO2 (aq) K1 = 10-1,41
CO2 (aq) + H2O  H2CO3 K2 = 10-2,62
b. asam-asam organik hasil dekomposisi
c. H+ yang dilepas oleh akar tanaman dan organisme yang lain pada waktu pengambilan hara. Prinsip elektroneutrality adalah pengambilan kation oleh akar harus diimbangi dengan pengambilan anion atau dengan pelepasan ion hidrogen atau kation lain
d. Oksidasi dari substansi tereduksi sepeti mineral sulfida, bahan organik, fertilizer yang mengandung ammonium
Proses yang menghasilkan kebasaan tanah
1. Reduksi dari Ferri, mangan, dan oxidized substances membutuhkan H+ atau melepas OH- dan meningkatkan pH (terjadi pada tanah yang aerasinya jelek)
Misal : Fe(OH)3 (amorf) + e-  Fe(OH)2 (amorf) + OH-
2. Pengambilan kation oleh akar tanaman, kemudian setelah tanaman mati maka akan terdeposisi di permukaan tanah
PH tanah dikontrol oleh berbagai mekanisme. Sebagian mekanisme adalah sumber langsung H+ dan atau OH- dan sebagian bekerja dengan bereaksi dengan H+ dan atau OH- untuk buffer pada larutan tanah. Mekanisme tersebut adalah : (1) oksidasi dan reduksi besi, mangan dan senyawa sulfur (2) dissolution dan presipitasi mineral tanah (3) Reaksi gas misal CO2 dengan larutan tanah (4) dissosiasi grup asam lemah pada tepi lempung silikat, hidrous oksida, atau substansi humus (5) reaksi ion-exchange
Pengelompokan kemasaman tanah adalah sebagai berikut:
a. Sangat masam untuk pH tanah < 4,5
b. Masam untuk pH tanah berkisar antara 4,5 s/d 5,5
c. Agak masam untuk pH tanah berkisar antara 5,6 s/d 6,5
d. Netral untuk pH tanah berkisar antara 6,6 s/d 7,5
e. Agak alkalis untuk pH tanah berkisar antara 7,6 s/d 8,5
f. Alkalis untuk pH tanah > 8,5.
(2) Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Pengertian Kapasitas Tukar Kation
Salah satu sifat kimia tanah yang terkait erat dengan ketersediaan hara bagi tanaman dan menjadi indikator kesuburan tanah adalah Kapasitas Tukar Kation (KTK) atau Cation Exchangable Cappacity (CEC). KTK merupakan jumlah total kation yang dapat dipertukarkan (cation exchangable) pada permukaan koloid yang bermuatan negatif. Satuan hasil pengukuran KTK adalah milliequivalen kation dalam 100 gram tanah atau me kation per 100 g tanah.
Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan ukuran kemampuan tanah dalam menjerap dan dan mempertukarkan sejumlah kation. Makin tinggi KTK, makin banyak kation yang dapat ditariknya. Tinggi rendahnya KTK tanah ditentukan oleh kandungan liat dan bahan organik dalam tanah itu. Tanah yang memiliki KTK yang tinggi akan menyebabkan lambatnya perubahan pH tanah. KTK tanah juga mempengaruhi kapan dan berapa banyak pupuk nitrogen dan kalium harus ditambahkan ke dalam tanah Pada KTK tanah yang rendah, misalnya kurang dari 5 cmol(+)/kg, pencucian beberapa kation dapat terjadi. Penambahan ammonium dan kalium pada tanah ini akan menyebabkan sebagian ammonium dan kalium itu mengalami pencucian di bawah zona akar, khususnya pada tanah pasiran dengan KTK tanah bawah (subsoil) yang rendah. Pada KTK tanah yang lebih tinggi, misalnya lebih besar dari 10 cmol(+)/kg, hanya sedikit pencucian kation akan terjadi. Oleh karena itu, penambahan nitrogen dan kalium pada tanah ini memungkinkan untuk dilaksanakan. Menurut Mengel (1993) kation tanah yang paling umum adalah: kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), kalium (K+), ammonium (NH4+), hydrogen (H+) dan sodium (Na+). Sedangkan anion tanah yang umum meliputi: khlorin (Cl-), nitrat (NO3-), sulfat (S04=) dan fosfat (PO43-).
Berdasarkan pada jenis permukaan koloid yang bermuatan negatif, KTK dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. KTK Koloid Anorganik atau KTK Liat
KTK liat adalah jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid anorganik (koloid liat) yang bermuatan negatif.
Nilai KTK liat tergantung dari jenis liat, sebagai contoh:
a. Liat Kaolinit memiliki nilai KTK = 3 s/d 5 me/100 g.
b. Liat Illit dan Liat Klorit, memiliki nilai KTK = 10 s/d 40 me/100 g.
c. Liat Montmorillonit, memiliki nilai KTK = 80 s/d 150 me/100 g.
d. Liat Vermikullit, memiliki nilai KTK = 100 s/d 150 me/100 g.
2. KTK Koloid Organik
KTK koloid organik sering disebut juga KTK bahan organik tanah adalah jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid organik yang bermuatan negatif.
Nilai KTK koloid organik lebih tinggi dibandingkan dengan nilai KTK koloid anorganik. Nilai KTK koloid organik berkisar antara 200 me/100 g sampai dengan 300 me/100 g.
3. KTK Total atau KTK Tanah
KTK total merupakan nilai KTK dari suatu tanah adalah jumlah total kation yang dapat dipertukarkan dari suatu tanah, baik kation-kation pada permukaan koloid organik (humus) maupun kation-kation pada permukaan koloid anorganik(liat).
Perbedaan KTK Tanah Berdasarkan Sumber Muatan Negatif
Berdasarkan sumber muatan negatif tanah, nilai KTK tanah dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. KTK Muatan Permanen
KTK muatan permanen adalah jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid liat dengan sumber muatan negatif berasal dari mekanisme substitusi isomorf. Substitusi isomorf adalah mekanisme pergantian posisi antar kation dengan ukuran atau diameter kation hampir sama tetapi muatan berbeda. Substitusi isomorf ini terjadi dari kation bervalensi tinggi dengan kation bervalensi rendah di dalam struktur lempeng liat, baik lempeng liat Si-tetrahedron maupun Al-oktahedron.
Contoh peristiwa terjadinya muatan negatif diatas adalah: (a). terjadi substitusi isomorf dari posisi Si dengan muatan 4+ pada struktur lempeng liat Si-tetrahedron oleh Al yang bermuatan 3+, sehingga terjadi kelebihan muatan negatif satu, (b). terjadinya substitusi isomorf dari posisi Al yang bermuatan 3+ pada struktur liat Al-oktahedron oleh Mg yang bermuatan 2+, juga terjadi muatan negatif satu, dan (c). terjadi substitusi isomorf dari posisi Al yang bermuatan 3+ dari hasil substitusi isomorf terdahulu pada lempeng liat Si-tetrahedron yang telah bermuatan neatif satu, digantikan oleh Mg yang bermuatan 2+, maka terjadi lagi penambahan muatan negatif satu, sehingga terbentuk muatan negatif dua pada lempeng liat Si-tetrahedron tersebut. Muatan negatif yang terbentuk ini tidak dipengaruhi oleh terjadinya perubahan pH tanah. KTK tanah yang terukur adalah KTK muatan permanen.
b. KTK Muatan Tidak Permanen
KTK muatan tidak permanen atau KTK tergantung pH tanah adalah jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid liat dengan sumber muatan negatif liat bukan berasal dari mekanisme substitusi isomorf tetapi berasal dari mekanisme patahan atau sembulan di permukaan koloid liat, sehingga tergantung pada kadar H+ dan OH- dari larutan tanah.
Hasil Pengukuran KTK Tanah
Berdasarkan teknik pengukuran dan perhitungan KTK tanah di laboratorium, maka nilai KTK dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1. KTK Efektif, dan
2. KTK Total.
Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir (Hardjowogeno 2003). Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh :
1.Reaksi tanah
2.Tekstur atau jumlah liat
3.Jenis mineral liat
4.Bahan organik dan,
5.Pengapuran serta pemupukan.
Sedangkan Menurut Hakim,et al. (1986) besar KTK tanah dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanah yang antara lain: reaksi tanah atau pH; tekstur tanah atau jumlah liat; jenis mineral liat; bahan organik; pengapuran dan pemupukan. Pada pH tanah yang rendah, KTK tanah akan relatif rendah, karena misel liat dan bahan organik banyak menjerap ion-ion H+ atau Al3+. Kation-kation yang terjerap dalam tanah akan dapat dilepaskan dari tanah dan ditukar tempatnya oleh ion-ion H+ yang dilepaskan oleh akar tanaman. Kation-kation yang berupa unsur hara itu kemudian larut dalam air tanah dan diisap oleh tanaman.
Soepardi (1983) mengemukakan kapasitas tukar kation tanah sangat beragam, karena jumlah humus dan liat serta macam liat yang dijumpai dalam tanah berbeda-beda pula.
Nilai KTK tanah (me/100g) dikelompokkan dalam lima kategori berikut:
(1) sangat rendah untuk nilai KTK (me/100 g) < 5,
(2) rendah untuk nilai KTK (me/100 g) berkisar antara 5 s/d 16,
(3) sedang untuk nilai KTK (me/100 g) berkisar antara 17 s/d 24,
(4) tinggi untuk nilai KTK (me/100 g) berkisar antara 25 s/d 40, dan
(5) sangat tinggi untuk nilai KTK (me/100g) > 40.
(3) C-Organik
Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya pertanian. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik.
Bahan organik tanah sangat menentukan interaksi antara komponen abiotik dan biotik dalam ekosistem tanah. Musthofa (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari 2 persen, Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi maka sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan bahan organik antara lain sangat erat berkaitan dengan KTK (Kapasitas Tukar Kation) dan dapat meningkatkan KTK tanah. Tanpa pemberian bahan organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah yang dapat merusak agregat tanah dan menyebabkan terjadinya pemadatan tanah.
Menurut Forster (1995), C-organik penting untuk mikroorganisme, tidak hanya sebagai unsur hara, tetapi juga sebagai pengkondisi sifat fisik tanah yang mempengaruhi karakteristik agregat dan air tanah. Seringkali ada hubungan langsung antara persentase C-organik total dan karbon dari biomassa mikroba yang ditemukan dalam tanah pada zona iklim yang sama. C-organik juga berhubungan dengan aktivitas enzim tanah. Di perkebunan teh Gambung, C-organik tanah juga digunakan untuk menentukan dosis pupuk yang akan diaplikasikan. Menurut Tamhane et al. (1970) dalam Rahardjo et al. (2001), dekomposisi bahan organik menghasilkan asam-asam organik dan apabila ditambahkan ke dalam tanah akan meningkatkan kandungan senyawa organik dalam tanah yang dicirikan dengan meningkatnya kandungan C-organik tanah.
Kandungan C-organik pada setiap tanah bervariasi, mulai dari kurang dari 1% pada tanah berpasir sampai lebih dari 20 % pada tanah berlumpur. Warna tanah menunjukkan kandungan C-organik tanah tersebut. Tanah yang berwarna hitam kelam mengandung C-organik yang tinggi. Makin cerah warna tanah kandungan C-organiknya makin rendah. Contohnya tanah yang berwarna merah mengandung kadar besi yang tinggi, tetapi rendah kandungan C-organiknya. (McVay & Rice, 2002).
Nilai prosentase karbon atau C-organik Tanah dalam tanah dikelompokkan dalam lima kategori berikut:
(1) sangat rendah untuk C(%) <1,00,
(2) rendah untuk C(%) berkisar antara 1,00 s/d 2,00,
(3) sedang untuk C(%) berkisar antara 2,01 s/d 3,00,
(4) tinggi untuk C(%) berkisar antara 3,01 s/d 5,00 dan
(5) sangat tinggi untuk C(%) lebih dari 5,00.
(4) N-Total
Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial, menyusun sekitar 1,5 % bobot tanaman dan berfungsi terutama dalam pembentukan protein (Hanafiah 2005).
Menurut Hardjowigeno (2003) Nitrogen dalam tanah berasal dari :
a.Bahan Organik Tanah : Bahan organik halus dan bahan organik kasar
b.Pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara
c.Pupuk
d.Air Hujan
Sumber N berasal dari atmosfer sebagai sumber primer, dan lainnya berasal dari aktifitas didalam tanah sebagai sumber sekunder. Fiksasi N secara simbiotik khususnya terdapat pada tanaman jenis leguminoseae sebagai bakteri tertentu. Bahan organik juga membebaskan N dan senyawa lainnya setelah mengalami proses dekomposisi oleh aktifitas jasad renik tanah.
Hilangnya N dari tanah disebabkan karena digunakan oleh tanaman atau mikroorganisme. Kandungan N total umumnya berkisar antara 2000 – 4000 kg/ha pada lapisan 0 – 20 cm tetapi tersedia bagi tanaman hanya kurang 3 % dari jumlah tersebut (Hardjowigeno 2003). Manfaat dari Nitrogen adalah untuk memacu pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif, serta berperan dalam pembentukan klorofil, asam amino, lemak, enzim, dan persenyawaan lain (RAM 2007). Nitrogen terdapat di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk-bentuk organik meliputi NH4, NO3, NO2, N2O dan unsur N. Tanaman menyerap unsur ini terutama dalam bentuk NO3, namun bentuk lain yang juga dapat menyerap adalah NH4, dan urea (CO(N2))2 dalam bentuk NO3. Selanjutnya, dalam siklusnya, nitrogen organik di dalam tanah mengalami mineralisasi sedangkan bahan mineral mengalami imobilisasi. Sebagian N terangkut, sebagian kembali scbagai residu tanaman, hilang ke atmosfer dan kembali lagi, hilang melalui pencucian dan bertambah lagi melalui pemupukan. Ada yang hilang atau bertambah karena pengendapan.
Kriteria Status Hara Nitrogen (N):
Nilai prosentase nitrogen dalam tanah dikelompokkan dalam lima kategori berikut:
(1) sangat rendah untuk N(%) <0,10,
(2) rendah untuk N(%) berkisar antara 0,10 s/d 0,20,
(3) sedang untuk N(%) berkisar antara 0,21 s/d 0,50,
(4) tinggi untuk N(%) berkisar antara 0,51 s/d 0,75 dan
(5) sangat tinggi untuk N(%) lebih dari 0,75.
(5) C/N Ratio
Indeks yang sering digunakan untuk menentukan kualitas bahan organik yang berkaitan dengan laju dekomposisi adalah C:N rasio. Nilai C:N rasio tanah relatif konstan pada kisaran 8:1 sampai 15:1 dengan rata-rata 10:1 sampai 12:1 (Prasad dan Power, 1997). Perbandingan C:N sangat menentukan apakah bahan organik akan termineralisasi atau sebaliknya nitrogen yang tersedia akan terimmobilisasi ke dalam struktur sel mikroorganisme. Karena C:N rasio pada tanah relatif konstan maka ketika residu tanaman ditambahkan ke dalam tanah yang memiliki C:N rasio relatif besar, residu tanaman akan terdekomposisi dan meningkatkan evolusi CO2 ke atmosfer, dan sebaliknya akan terjadi depresi pada nitrat tanah karena immobilisasi oleh mikroorganisme.
Pada lahan hutan pada umumnya mempunyai C:N rasio lebih tinggi bila dibanding C:N rasio pada lahan yang diubah menjadi agroekosistem. Tingginya rasio C:N pada lahan hutan ini mencerminkan kualitas substrat yang terurai relatif rendah, karena kualitas substrat yang rendah mencerminkan laju respirasi yang rendah pula. Rendahnya laju pelepasan karbon pada lahan hutan dibanding pada alang-alang ini disebabkan bahwa tingginya rasio C:N pada lahan hutan berkisar 13 – 16, sementara pada lahan alang-alang 5 tahun berkisar 9 – 11, dan alang-alang > 10 tahun berkisar 10 – 13. Hubungan antara C:N rasio dengan laju pelepasan karbon dalam bentuk CO2 melalui persamaan regresi memiliki nilai r2 = 0.78 nyata (Yuniar, 2002).
Nilai C/N dalam tanah dikelompokkan dalam lima kategori berikut:
(1) sangat rendah untuk C/N < 5,
(2) rendah untuk C/N berkisar antara 5 s/d 10,
(3) sedang untuk C/N berkisar antara 11 s/d 15,
(4) tinggi untuk C/N berkisar antara 16 s/d 25 dan
(5) sangat tinggi untuk C/N lebih dari 25.
(6) Koloid Tanah
Koloid tanah adalah bagian paling aktif dari tanah dan sebagian besar menentukan sifat fisik dan kimia dari tanah. Koloid adalah partikel kurang dari 0,001 mm, dan fraksi termasuk partikel tanah liat kurang dari 0,002 mm. Oleh karena itu, semua mineral lempung koloid tidak ketat. Koloid organik lebih reaktif secara kimiawi dan umumnya memiliki pengaruh yang lebih besar pada sifat-sifat tanah per satuan berat daripada koloid anorganik. Salah satu yang paling penting sifat-sifat koloid adalah kemampuan mereka untuk menyerap, tahan, dan melepaskan ion. Koloid umumnya memiliki muatan negatif bersih sebagai hasil dari fisik dan komposisi kimia.
Koloid tanah adalah bahan organik dan bahan mineral tanah yang sangat halus sehingga mempunyai luas permukaan yang sangat tinggi persatuan berat. Koloid tanah terdiri dari liat (koloid anorganik) dan humus (kolod organik). Koloid berukuran kurang dari 1 µ, sehingga tidak semua fraksi liat (kurang dari 2 µ) termasuk koloid.
Koloid anorganik terdiri dari mineral liat Al-silikat, oksida-oksida Fe dan Al, mineral-mineral primer.
Mineral liat Al-silikat mempunyai bentuk kristal yang baik misalnya kaolinit, haolisit, montmorilonit, ilit. Kaolinit dan haolisit banyak ditemukan pada tanah-tanah merah (coklat) yaitu tanah-tanah yang umumnya berdrainase baik, sedangkan montmorilonit ditemukan pada tanah-tanah yang mudang mengembang dan mengerut serta pecah-pecah pada musim kering misalnya tanah vertisol. Ilit ditemukan pada tanah-tanah berasal dari bahan induk yang banyak mengandung mika dan belum mengalami pelapukan lanjut. Adanya muatan negatif pada mineral liat disebabkan oleh beberapa hal yaitu : (1) Kelebihan muatan negatif pada ujung-ujung patahan kristal baik pada Si-tetrahedron maupun Al-oktahedron, (2) Disosiasi H+ dari gugus OH yang terdapat pada tepi atau ujung kristal, (3) Substitusi isomorfik.

Pada mineral liat Kaolinit masing-masing unit melekat dengan unit lain dengan kuat (oleh ikatan H) sehingga mineral ini tidak mudah mengembang dan mengerut bila basah dan kering bergantian. Substitusi isomorfik sedikit atau tidak ada sehingga kandungan muatan negatif atau KTK rendah. Muatan negatif hanya pada patahan-patahan kristal atau akibat disosiasi H bila pH naik. Karena itu, muatan negatif mineral ini meningkat bila pH naik (muatan tergantung pH).

Keadaan ini berbeda dengan mineral liat Montmorilonit dimana masing-masing unit dihubungkan dengan unit lain oleh ikatan yang lemah (oksigen ke oksigen) sehingga mudah mengembang (bila basah) dan mengerut (bila kering). Hal ini karena air (dan kation-kation) dan masuk pada ruang-ruang antar unit tersebut. Dalam proses pembentukan montmorilonit banyak Al3+ dalam Al-oktahedron yang disubstitusi oleh Mg2+ sehingga banyak menghasilkan kelebihan muatan negatif. Kecuali itu ruang-ruang antar unit yang mudah dimasuki air internal surface yang aktif disamping sisi-sisi luar (external surace) dan ujung-ujung patahan. Karena itu montmorilonit mempunyai muatan negatif yang tinggi (KTK tinggi). Mineral ini pada pH kurang dari 6,0 hanya mengandung muatan tetap hasil substitusi isomorfik, tetapi bila pH lebih dari 6,0 maka terjadi muatan tergantung pH.
Illit umumnya terbentuk langsung dari mika melalui proses alterasi. Mineral ini dapat menfiksasi K yang diberikan atau yang ada dalam larutan tanah. Adanya substitusi Si4+ dari Si-tetrahedron oleh Al3+ menyebabkan muatan negatif mineral ini cukup tinggi.
Koloid organik adalah humus. Perbedaan utama dari koloid organik (humus) dengan koloid anorganik (liat) adalah bahwa koloid organik (humus) terutama tersusun oleh C, H dan O sedangkan liat terutama tersusun oleh Al, Si dan O. Humus bersifat amorf, mempunyai KTK yang lebih tinggi daripada mineral liat (lebih tinggi dari montmorilonit), dan lebih mudah dihancurkan jika dibandingkan dengan liat. Sumber muatan negatif dari humus terutama adalah gugusan karboksil dan gugusan phenol. Muatan dalam humus adalah muatan tergantung pH. Dalam keadaan masam, H+ dipegang kuat dalam gugusan karboksil atau phenol, tetapi iktan tersebut menjadi kurang kekuatannya bila pH menjadi lebih tinggi. Akibatnya disosiasi H+ meningkat dengan naiknya pH, sehingga muatan negatif dalam koloid humus yang dihasilkan juga meningkat. Berdasar atas kelarutannya dalam asam dan alkali, humus diperkirakan disusun oleh tiga jenis bagian utama, yaitu asam fulvik, asam humik dan humin.
(7) P (fosfor)
Unsur Fosfor (P) dalam tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan dan mineral-mineral di dalam tanah. Fosfor paling mudah diserap oleh tanaman pada pH sekitar 6-7 (Hardjowigeno 2003). Siklus Fosfor sendiri dapat dilihat pada Gambar 2.
Dalam siklus P terlihat bahwa kadar P-Larutan merupakan hasil keseimbangan antara suplai dari pelapukan mineral-mineral P, pelarutan (solubilitas) P-terfiksasi dan mineralisasi P-organik dan kehilangan P berupa immobilisasi oleh tanaman fiksasi dan pelindian (Hanafiah 2005).
Menurut Leiwakabessy (1988) di dalam tanah terdapat dua jenis fosfor yaitu fosfor organik dan fosfor anorganik. Bentuk fosfor organik biasanya terdapat banyak di lapisan atas yang lebih kaya akan bahan organik. Kadar P organik dalam bahan organik kurang lebih sama kadarnya dalam tanaman yaitu 0,2 – 0,5 %. Tanah-tanah tua di Indonesia (podsolik dan litosol) umumnya berkadar alami P rendah dan berdaya fiksasi tinggi, sehingga penanaman tanpa memperhatikan suplai P kemungkinan besar akan gagal akibat defisiensi P (Hanafiah 2005). Menurut Foth (1994) jika kekurangan fosfor, pembelahan sel pada tanaman terhambat dan pertumbuhannya kerdil.
P2O5 metode HCl
Nilai P2O5 dalam tanah yang terukur dengan metode HCl, dikelompokkan dalam lima kategori berikut:
(1) sangat rendah untuk mg P2O5/100 g tanah < 10,
(2) rendah untuk mg P2O5/100 g tanah berkisar antara 10 s/d 20,
(3) sedang untuk mg P2O5/100 g tanah berkisar antara 21 s/d 40,
(4) tinggi untuk mg P2O5/100 g tanah berkisar antara 41 s/d 60 dan
(5) sangat tinggi untuk mg P2O5/100 g tanah lebih dari 60.
P2O5 metode Bray I
Nilai P2O5 dalam tanah yang terukur dengan metode Bray I, dikelompokkan dalam lima kategori berikut:
(1) sangat rendah untuk ppm P2O5 < 10,
(2) rendah untuk ppm P2O5 berkisar antara 10 s/d 15,
(3) sedang untuk ppm P2O5 berkisar antara 16 s/d 25,
(4) tinggi untuk ppm P2O5 berkisar antara 26 s/d 35 dan
(5) sangat tinggi untuk ppm P2O5 lebih dari 35.
P2O5 Olsen
Nilai P2O5 dalam tanah yang terukur dengan metode Olsen, dikelompokkan dalam lima kategori berikut:
(1) sangat rendah untuk ppm P2O5 < 10,
(2) rendah untuk ppm P2O5 berkisar antara 10 s/d 25,
(3) sedang untuk ppm P2O5 berkisar antara 26 s/d 45,
(4) tinggi untuk ppm P2O5 berkisar antara 46 s/d 60 dan
(5) sangat tinggi untuk ppm P2O5 lebih dari 60.
(8) Kejenuhan Basa (KB)
Kejenuhan basa adalah perbandingan dari jumlah kation basa yang ditukarkan dengan kapasitas tukar kation yang dinyatakan dalam persen. Kejenuhan basa rendah berarti tanah kemasaman tinggi dan kejenuhan basa mendekati 100% tanah bersifal alkalis. Tampaknya terdapat hubungan yang positif antara kejenuhan basa dan pH. Akan tetapi hubungan tersebut dapat dipengaruhi oleh sifat koloid dalam tanah dan kation-kation yang diserap. Tanah dengan kejenuhan basa sama dan komposisi koloid berlainan, akan memberikan nilai pH tanah yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan derajat disosiasi ion H+ yang diserap pada permukaan koloid.
Kejenuhan basa selalu dihubungkan sebagai petunjuk mengenai kesuburan sesuatu tanah. Kemudahan dalam melepaskan ion yang dijerat untuk tanaman tergantung pada derajat kejenuhan basa. Tanah sangat subur bila kejenuhan basa > 80%, berkesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50-80% dan tidak subur jika kejenuhan basa < 50 %. Hal ini didasarkan pada sifat tanah dengan kejenuhan basa 80% akan membebaskan kation basa dapat dipertukarkan lebih mudah dari tanah dengan kejenuhan basa 50%.
Nilai prosentase kejenuhan basa tanah dikelompokkan dalam lima kategori berikut:
(1) sangat rendah untuk Kej. Basa (%) < 20,
(2) rendah untuk Kej. Basa (%) berkisar antara 20 s/d 35,
(3) sedang untuk Kej. Basa (%) berkisar antara 36 s/d 50,
(4) tinggi untuk Kej. Basa (%) berkisar antara 51 s/d 70 dan
(5) sangat tinggi untuk Kej. Basa (%) lebih dari 70.
Cara Memperbaiki Sifat Kimia Tanah
Bahan organik sebagai bahan rehabilitasi juga didapat dari limbah, terutama limbah industri kelapa sawit yang banyak diluar pulau Jawa. Manik (2002) menyatakan bahwa tandan kosong kelapa sawit sebanyak 95 Mg/ha mampu meningkatkan pH tanah, kandungan P, K, Mg, dan KTK tanah.
Tanah masam umumnya tidak produktif. Untuk meningkatkan produktifitas tanah tersebut, pemberian kapur adalah cara yang tepat. Beberapa keuntungan dari pengapuran adalah : 1) fosfat menjadi lebih tersedia, 2) kalium menjadi lebih efisien dalam unsur hara tanaman, 3) struktur tanahnya menjadi baik dan kehidupan organisme dalam tanah lebih giat, 4) menambah Ca dan Mg bila yang digunakan adalah dolomin, dan 5) kelarutan zat‑zat yang sifatnya meracun tanaman menjadi menurun dan unsur lain tidak banyak terbuang. Selain tanah‑tanah yang bereaksi masam, terdapat pula tanah yang, bereaksi alkalis (basa) dengan derajat pH lebih dari 8.0. Tanah‑tanah demikian perlu diturunkan pH nya sampai mendekati netral agar permanfaatannya untuk berusaha tani lebih baik. Usaha untuk menurunkan pH pada tanah yang reaksinya alkalis dapat dilakukan dengan memberikan beberapa bahan, yaitu tepung belerang (S).
Cara pengapuran dengan bahan pengapur untuk menaikkan pH tanah yang paling umum pada tanah‑tanah pertanian yang menghendaki perbaikan derajat keasamannya adalah dengan cara disebar dan disemprotkan.
Pada cara disebar, sebulan sebelum penanaman dilaksanakan, kapur bakar atau kapur mati diberikan dengan jalan disebar merata di permukaan tanah. Pada pengolahan tanah terakhir (menghaluskan dan meratakan), kapur diaduk dengan tanah agar butir‑butir kapur masuk ke dalam lapisan tanah. Bila yang digunakan tepung batu kapur (kapur pertanian) hendaknya diberikan jauh lebih awal daripada kapur bakar maupun kapur mati. Cara pemberian dengan disebar biasa dilaksanakan pada penanaman kedelai, dengan menggunakan dosis 2 ‑ 4 ton kapur mati per hektar.
Pengapuran dengan cara disemprotkan biasa dilakukan pada tanaman kacang tanah. Pada tanaman ini pengapuran merupakan suatu pekerjaan yang baik untuk menyediakan unsur Ca bagi tanarnan kacang tanah. Hal ini disebabkan karena kebutuhan Ca pada kacang tanah adalah besar terutama untuk pembentukan polong.
Cara pemberian tepung belerang adalah pada saat pengolahan tanah tepung belerang ditaburkan di atas permukaan tanah. Pada pengolahan selanjutnya tepung belerang akan diaduk atau teraduk ke dalam lapisan tanah. Sedangkan cara pernberian gypsum adalah tepung gypsum halus ditebarkan pada permukaan tanah kemudian diaduk dengan tanah. Jumlah gypsum yang dibutuhkan untuk menurunkan pH dari derajat basa sampai mendekati netral adalah 6 ton per hektar, tergantung, pada alkalinitas asal dan jenis tanahnya. Setelah pemberian tepung gypsum dilaksanakan, lahan harus dialiri dengan air tawar.
Bila ada kelebihan pemberian kapur, yaitu penambahan kapur melebihi pH tanah yang diperlukan oleh pertumbuhan optimum tanaman, biasanya tanaman akan memberikan tanggapan terhadap pengapuran akan sangat menderita, terutama pada tahun pertama pemberian kapur. Pemberian kapur dalam jumlah sedang pada tanah berat tidak akan memberikan pengaruh buruk. Tetapi, pada tanah berpasir atau berdebu dan bahan organik rendah jumlah pemberian kapur yang sama menyebabkan banyak tanaman menderita. Pengaruh buruk yang dapat terjadi adalah : 1 ) kekurangan besi, mangan, tembaga dan seng, 2) Ketersediaan fosfor mungkin menurun karena pembentukan senyawa kompleks dan tidak larut, 3) Serapan fostor dan penggunaannya dalarn metabolisme tanaman dapat terganggu, 4) serapan boron dan penggunaannya dapat terganggu dan 5) perubahan pH yang meningkat cepat dapat berpengaruh buruk. Dengan begitu kerusakan akibat kelebihan kapur sukar diterangkan secara memuaskan, karena adanya hubungan biokoloidal yang kompleks dalam tanah.
Untuk menentukan banyaknya kapur yang diperlukan untuk tiap-tiap hektar tanah diperlukan beberapa cara antara kain, yaitu :
1) Metode SMP (Schoemaker, McLean, dan Pratt). Metode ini dilanjutkan dengan mengukur jumlah H+ dan Al3+ yang dapat dipertukarkan dan larut dengan menggunakan larutan SMP buffer. Prosedurnya yaitu terlebih dahulu mengocok tanah dengan air destilat kemudian diukur pH-nya. Dengan kertas lakmus atau pH meter. Bila tanah tersebut tergolong masam, maka pengukuran dilanjutkan dengan menambah larutan SMP buffer lalu dikocok. Kemudian diukur lagi pH-nya. Berdasarkan metode ini maka kebutuhan kapur dapat diketahui melalui tabl kebutuhan kapur.
2) Metode berdasarkan kadar Al-dd tanah permukaan, yaitu kadar Al-dd yang diekstrak dengan larutan KCl 1 N.

11 komentar:

  1. btw,,,,da ga ya kisaran normal keberadaan amoniak di dalam tanah ?? makasih

    BalasHapus
  2. artikel ini sangat bermanfaat untuk dunia pertanian Indonesia. trims atas dimuatnya artikel ini

    BalasHapus
  3. Artikel yang sangat bermanfaat. trima kasih informasinya

    BalasHapus
  4. tHank ya,, artikelnya membantu ....

    BalasHapus
  5. mas berapa % sih kebutuhan NPK paling kecil dan paling besar?
    sebelumnya terimaksih

    BalasHapus
  6. Mas, sekedar saran saja jika mencantumkan suatu artikel ilmiah jangan lupa sumber referensinya juga dicantumkan. trims.

    BalasHapus
  7. Cukup menambah wawasan...tapi tentu perlu penyempurnaan minimal menjawab para komentator atas artikel ini

    BalasHapus
  8. mas, boleh minta daftar pustaka Kriteria Status Hara Nitrogen???

    BalasHapus
  9. posting lebih banyak bang dedy

    BalasHapus

Halaman