Rabu, Desember 07, 2011

Perspektif Sejarah Ilmu Tanah

Perspektif sejarah berguna untuk (1) membantu mengendapkan dalam pikiran kita tahapan-tahapan rumit yang telah dilalui suatu ilmu, dalam hal ini ilmu tanah, (2) memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kristalisasi pengkajian tanah, dan (3) meramalkan hari depan ilmu tanah.

Manusia secara berangsur mendapatkan pengetahuan sebagai hasil perjuangannya demi kemaujudannya (existence). Inilah sebabnya mengapa kedokteran, botani dan astronomi merupakan disiplin ilmu yang tertua, pengetahuan yang pertama-tama dimiliki manusia. Pengetahuan kedokteran dia perlukan untuk melawan gangguan atau penyakit tubuhnya. Botani berkembang diderita karena minatnya yang mendalam tentang tumbuhan sebagai bahan obat atau pangan. Gejala ruang angkasa yang sukar dipahami, perubahan tetap siang dan malam, peredaran matahari dari timur ke barat, pemunculan bintang menurut musim, dan sebagainya membangkitkan rasa gaib dalam diri manusia. Dengan diawali penyembahan Dewa Matahari oleh bangsa Mesir Kuno, secara bertahap pengetahuan manusia bertambah yang akhimya melahirkan astronomi. Dari sesuatu yang dipandang gaib, dipuja dan disembah, lambat laun berganti menjadi sesuatu yang sangat memikat untuk disingkap rahasianya, untuk dijamah. Manusia mulai menjelajahi ruang angkasa.

Bagaimana mengenai tanah? Tanah berada di bawah telapak kaki manusia. Setiap saat dia menginjaknya, akan tetapi dia justru mendongak ke langit untuk memperoleh pertolongan dan keselamatan dari para Dewa. Selama manusia masih bertempat tinggal di dalam gua-gua atau di bawah tajuk lebat pepohonan, selama dia puas dengan mencari makan secara berburu binatang dan memungut hasil tumbuhan, dan selama dia sudah merasa senang meliliti tubuhnya dengan dedaunan, kulit kayu, atau kulit binatang untuk melindungi badannya dari kedinginan, kehujanan, tusukan duri, dan gigitan serangga, selama itu pula tanah bukan sesuatu yang perlu diperhatikan.

Kelahiran pengetahuan tentang tanah masih harus menunggu waktu lama sampai manusia menjinakkan (domesticate) hewan menjadi ternak dan tumbuhan menjadi tanaman. Mulailah manusia merasa perlu memperhatikan tanah. Keperhatian (concern) manusia yang menempati kawasan beriklim kering tertuju kepada pencarian padang rumput yang subur untuk menggembalakan ternak, dan yang menempati kawasan beriklim basah keperhatiannya tertuju kepada pemilihan tanah hutan yang baik untuk dibuka dan bercocok tanam. Manusia masih bergantung pada alam untuk memulihkan kesuburan perumputan atau kesuburan tanah hutan. Oleh karena pemulihan ini memerlukan waktu lama, manusia hidup sebagai peternak nomad atau petani peladang (swidden cultivators). Penduduk kawasan tropika basah di Afrika, Asia dan Amerika Selatan memahirkan diri dalam berladang.

Proses pengumpulan dan penghimpunan pengalaman mulai berjalan dan makin melaju setelah manusia hidup menetap. Diperlukan pengalaman dan pengetahuan yang lebih banyak dan andal untuk dapat memilih padang rumput atau tanah yang dapat digunakan secara tetap. Lembah-lembah sungai menjadi pilihan pertama untuk mendirikan permukiman dan mengusahakan pertanian secara menetap. Tanah lembah sungai disuburkan kembali secara berkala oleh lumpur banjir. Meskipun pemeliharaan kesuburan tanah masih digantungkan pada alam, akan tetapi oleh karena prosesnya berjalan hanya berselang musim dan tidak berjangka waktu tahunan seperti pada kawasan perladangan, manusia dapat menerapkan sistem pertanian menetap di lembah-lembah sungai. Bermukim sepanjang sungai juga mempertimbangkan kemudahan perhubungan dan perdagangan. Mereka yang kurang beruntung dengan alamnya, penyuburan tanah harus mereka usahakan sendiri.

Orang-orang Mesir Kuno memanfaatkan kedermawanan Bengawan Nil dengan menetap di sepanjang lembahnya. Orang-orang Babilonia yang mengusahakan lembah Sungai Eufrat dan Tigris yang beriklim kering mengembangkan teknik irigasi yang hebat. Akan tetapi teknologi irigasi waktu itu belum terdukung oleh pengetahuan tanah yang memadai. Maka akhimya tanah-tanah beririgasi di lembah Sungai Eufrat dan Tigris menjadi rusak karena salinisasi. Larutan garam di dalam air sungai mengendap dalam tanah karena evaporasi kuat di kawasan beriklim kering. Orang-orang Romawi, Yunani dan Cina mengembangkan kemahiran memupuk tanah dengan abu, sisa tanaman atau kotoran ternak. Orang Cina pada 4000 tahun yang lalu telah menerapkan semacam klasifikasi produktivitas tanah, a.l. untukdasar penetapan pajak bumi (Bennett, 1939; Joffe, 1949; Russell, 1963).

Pengetahuan akan ada kalau ada kebutuhan segera. Macam pengetahuan yang timbul, atau arah perkembangan suatu pengetahuan tertentu, tergantung pada lingkungan atau keadaan tempat yang menimbulkan kebutuhan akan pengetahuan itu. Pengumpulan pengetahuan berdasarkan pengalaman setempat dapat dikerjakan oleh orang awam. Akan tetapi menghimpun pengetahuan yang terpisah-pisah sehingga menjadi suatu sistem pengertian, atau menumbuhkan ilmu pengetahuan, hanya dapat dilaksanakan oleh para pakar atau ahli yang berminat. Oleh karena para cendekiawan sudah jauh lebih dulu menekuni ilmu-ilmu kealaman yang lain maka kemunculan ilmu tanah masih harus menunggu lama lagi sampai ada diversifikasi minat di kalangan para ahli pikir itu.

Saat tersebut akhimya tiba juga pada menjelang akhir abad ke-18. Tanah mendapatkan perhatian dari para cerdik pandai yang biasa berkecimpung dalam bidang kimia, fisiologi tumbuhan, bakteriologi dan geologi beserta bidang ikutannya petrografi dan mineralogi. Terbawa dari latar belakang disiplin ilmu masing-masing, mereka memperlakukan tanah sebagai suatu bahan. Orang geologi menganggap tanah sebagai bahan sisa pelapukan batuan. Mereka mengkaji tanah untuk menyidik kembali batuan asal mulanya menurut mineral dan sibir (fragment) batuan yang tersisa dalam bahan tanah. Orang ilmu kimia dan fisiologi tumbuhan memusatkan perhatian mereka pada unsur penyusunan tanah dan mengaitkannya dengan keharaan tanaman. Orang bakteriologi mementingkan unsur atau senyawa penyusun tanah yang dihasilkan oleh kegiatan biologi, khususnya oleh kegiatan jasad renik.

Berkat kemajuannya yang pesat dan berhasil, ilmu kimia untuk sementara waktu merajai pandangan ilmiah. Ilmu ini memiliki sarana penelitian ampuh berupa pemikiran dan kegiatan analitik. Sumbangan Boussingault di Perancis dan Liebig di Jerman kepada ilmu kimia pertanian dapat dicatat sebagai tonggak sejarah penting bagi perkembangan ilmu tanah. Terutama "teori mineral" dan "hukum minimum" Liebig yang diumumkannya pada tahun 1840 telah menghidupkan ilmu kesuburan tanah, suatu cabang ilmu tanah yang bertumbuh pesat dan menjadi cikal-bakal revolusi hijau yang terjadi pada abad ke-20. Dengan teori dan hukum tersebut Liebig sekaligus menumbangkan "teori humus" Thaer yang diajukan 30 tahun sebelumnya. Dapat dicatat bahwa ilmu kesuburan tanah modern menggabungkan teori humus dan teori mineral menjadi satu kesatuan dan menjabarkan ulang hukum minimum menjadi hukum neraca hara.

Di bawah asuhan ilmu kimia, pengkajian tanah maju dengan pesat. Ilmu tanah berhutang budi kepada kimia atas sumbangannya berupa metode dan tatacara penelitian serta hukum dasar kimia yang diterapkan pada tanah selaku medium produksi pertanaman. Akan tetapi di balik keberuntungan ini terdapat kerugian yang tidak kecil. Pengaruh ilmu kimia yang begitu kuat telah menghambat perkembangan pengkajian tanah menjadi disiplin ilmu yang hakiki dan mandiri. Pengkajian tanah menjadi bawahan ilmu kimia. Dengan konsep kimiawi tanah hanya dapat dipandang sebagai bahan dan tidak dapat dilihat tanah sebagai suatu tubuh alam yang khas. Geologi juga memberikan saham pada kekeliruan konsep ini. Pada waktu menekuni tanah sebagai limbah batuan, seorang pakar geologi tidak mempedulikan hubungan tanah dengan lingkungannya. Tanah dianggapnya hanya berkaitan langsung dengan batuan yang telah dan sedang mengalami pelapukan, dan tidak ada faktor lain di luar batuan dan pelapukan yang ikut serta menghadirkan tanah.


Fisika juga memberikan sumbangan yang sangat berarti kepada kemajuan pengkajian tanah. Berbagai sifat fisik dan mekanik tanah yang penting dapat di diungkapkan dengan teori dan hukum fisika. Akan tetapi sebagaimana ilmu kimia, fisika juga memandang tanah semata-mata sebagai bahan dan bukan sebagai tubuh

Kita tahu sekarang bahwa pengkajian dan penyelesaian persoalan tanah tidak semudah dugaan orang sampai akhir abad ke-l9. Membawa cuplikan (sample) tanah ke laboratorium untuk dianalisis sifat-sifat kimia, fisik, mineralogi dan/atau biologinya belum dapat memecahkan persoalan. Demikian pula halnya membawa tanah ke rumah kaca untuk percobaan pot.

Tonggak sejarah penting berikutnya bagi perkembangan pengkajian tanah datang pada pergantian abad ke-19 ke abad ke-20. Tonggak yang satu dipancangkan di Rusia oleh Dokuchaev dan murid-muridnya pada tahun 1883, dan tonggak yang lain dipancangkan di Amerika Serikat oleh Hilgard pada tahun 1877. Dokuchaev berlatarbelakang pendidikan geologi dan mineralogi, sedang Hilgard di samping berpendidikan geologi juga kemudian menguasai zoologi, botani dan agronomi (Joffe, 1949). Oleh kepeloporan kedua sarjana ini pandangan tentang hakekat tanah berubah dari bahan menjadi tubuh. Konsep tanah sebagai tubuh alam merupakan pembaharuan total atas pandangan sebelumnya. Tanah bukan sekadar bahan kimiawi atau benda fisik yang ditemukan di lapangan, bukan semata-mata substrat yang menghidupkan dan menghidupi tumbuhan, bukan hanya dunia jasad renik yang kaya raya, dan bukan pula sekadar limbah batuan. Tanah adalah suatu kenyataan alam yang mandiri.

Tanah mempunyai asal-usul, diujudkan di bawah kuasa faktor lingkungan tertentu melalui berbagai proses khas dan rumit, serta terdistribusikan di muka daratan dengan pola yang dapat ditakrifkan (distributed with definable patterns). Tanah merupakan suatu sistem terbuka menurut peredaran bahan dan energi. Kemaujudannya bertumpu pada daya tanggap tubuh tanah terhadap kakas (forces) yang bertanggung jawab atas pembentukan tanah. Kesudahan tanggapan ini terekam pada morfologi tubuh tanah (profil tanah) yang terbentuk oleh berbagai proses alihrupa dan alihtempat intemal (internal transformations and translocations).

Pada waktu dikuasai ilmu kimia, pengkajian tanah berkonsep statika. Buah penelitiannya adalah cuplikan tanah dari lapisan perakaran tanaman dan ruang kerjanya adalah laboratorium. Dengan konsep baru, ilmu tanah berurusan dengan dinamika tanah, berarti waktu menjadi faktor penting secara mutlak dalam menghadirkan sifat tanah. Tanah mernpakan perujudan suatu keseimbangan dinamik. Pada tahana tunak keseimbangan dinamik (steady state of dynamic equilibrium), anasir-anasir tanah berada dalam keselarasan timbal balik (mutually adjustment) dan tubuh tanah mencapai taraf matang. Kematangan ini bersifat nisbi. Apabila kelakuan faktor-faktor berubah maka proses penyelarasan timbal-balik antar anasir tanah berulang kembali menuju ke pencapaian keseimbangan dinamik baru. Dengan konsep baru ini buah telaah adalah keseluruhan tubuh tanah dan ruang kerjanya adalah lapangan tempat tubuh tanah itu berada. Cuplikan tanah dan laboratorium menjadi pelengkap penelitian untuk meningkatkan daya sidik dan daya ramal. Semua hasil penetapan laboratorium atas cuplikan tanah dikorelasikan satu dengan yang lain, baik secara vertikal untuk memperoleh rujukan tubuh maupun secara lateral untuk memperoleh rujukan bentangan. Dengan demikian tiap data tanah berada dalam suatu sistem informasi yang bermatra ruang. Dengan menginferensikan ciri-ciri tubuh tanah pada sejarah bentanglahan (landscape) tempat tubuh tanah berada, data tanah memperoleh pula matra waktu.

Setelah berhasil melahirkan konsep khusus tentang hakekat tanah dan berhasil menguraikan hukum yang mengatur faktor pembentuk tanah, barulah pengetahuan tanah menjadi suatu disiplin ilmu yang benar-benar mandiri. Ilmu kealaman yang lain, seperti ilmu kimia, fisika, biologi dan geologi, bukan lagi "bapak angkat" ilmu tanah melainkan alat. Bahkan kini matematika dan statistika sudah menjadi alat penting sekali dan lazim digunakan oleh ilmu tanah, khususnya dalam pengacuan (modelling) reaksi yang berlangsung dalam tanah dan interpolasi batas bentangan jenis tanah di medan (geostatistics).


Ilmu tanah masih muda sekali, boleh dikatakan umurnya kini baru sekitar satu abad. Akan tetapi dengan memiliki konsep baru maka sejak awal abad ke-20 ilmu tanah mengalami kemajuan pesat sekali. Dengan kelincahan dan kemahiran luar biasa, ilmu tanah memanfaatkan setiap kemajuan dalam ilmu kealaman yang lain dan dalam teknik analisis untuk memperkaya pandangan dan mencanggihkan metode penelitiannya. Bahkan kenyataan sosial dan ekonomi secara begitu cerdik dapat diramukan ke dalam ilmu tanah, misalnya yang dikerjakan oleh Profesor Edelman almarhum dalam bukunya "Sociale en Economische Bodemkunde" (1949). Joffe (1949) mengatakan bahwa ilmu tanah berdiri di antara ilmu tentang benda hidup dan tak hidup.

Ilmu tanah memperoleh matra lebih luas setelah klasifikasi dan pemetaan tanah berkembang pesat. Berkat fakta dan bukti yang terkumpul banyak selama penjelajahan medan secara intensif di kawasan dunia yang luas, konsep tanah sebagai sistem alam kemudian memperoleh konteks baru sebagai sumberdaya alam. Dengan ini ilmu tanah tidak saja berada di antara alam biotik dan abiotik, akan tetapi merangkaikan kedua alam tadi, dan bahkan memperoleh gatra sosial dan ekonomi sangat nyata. Dengan klasifikasi dan pemetaan tanah segala informasi tentang tanah memperoleh makna "tempat" dan penyalurannya menjadi lebih efektif karena dapat mengikuti asas ekstrapolasi atau adaptasi.

Hal ini jelas berguna sekali bagi penaburan ilmu dan teknologi tanah. Kebutuhan akan pendirian himpunan ilmu tanah, penerbitan jurnal ilmu tanah, atau penyelenggaraan pertemuan ilmu tanah secara berkala, menjadi bukti nyata tentang kepentingan penyaluran informasi untuk mendorong perkembangan ilmu tanah lebih pesat lagi. Misalnya, pertemuan ilmu tanah yang pertama kali diadakan di Indonesia berlangsung pada tahun 1930 di Yogyakarta. Salah satu jurnal ilmu tanah tertua "Soil Science" yang sekarang menjadi medium penyiaran ilmu tanah yang disegani, mulai terbit pada tahun 1916. Soil Science Society of America berdiri pada tahun 1936. Sebagai catatan, Himpunan Ilmu Tanah Indonesia baru berdiri pada tahun 1961 dan itupun "hidup segan mati tak sudi".
sumber :Tejoyuwono Notohadiprawiro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman