Rabu, November 30, 2011

PENGELOLAAN TANAH DAN AIR PADA TANAH RAWA SULFAT MASAM

Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama untuk keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, termasuk tanah sulfat masam. Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi, dan pemupukan. • Pengelolaan Air Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air di lahan pasang surut dibedakan ke dalam : (1) Pengelolaan air makro, (2) pengelolaan air mikro, dan (3) pengelolaan air tingkat tersier yaitu mengkaitkan antara pengelolaan air makro dan pengelolaan air mikro (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). 1. Jaringan tata air makro Sistem reklamasi lahan rawa di Indonesia telah dilakukan sejak proyek P4S yang dimulai awal Pelita I di lahan rawa pasang surut pantai timur Sumatera, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan serta Kalimantan Barat. Menurut Subagjo dan Widjaja-Adhi (1998) selama PJP I telah ditetapkan lima sistem jaringan tata air makro, yaitu: 1) sistem garpu, 2) tangga, 3) sisir tunggal, 4) sisir berpasangan, dan 5) kombinasi garpu dengan sisir. Selain kelima sistem tersebut UGM telah mengkombinasikan dengan pembuatan kolam pada ujung saluran primer atau sekunder yang disebut dengan sistem kolam. Keuntungan dari sistem kolam ini adalah asam-asam atau racun dapat diendapkan dalam kolam tersebut tidak masuk ke dalam lahan pertanian dan memelihara aliran sewaktu air surut. Sistem kolam ini telah dilaksanakan di Pulau Petak dan Barabai Kalimantan Selatan. Selanjutnya dalam pembuatan saluran baik primer, sekunder dan tersier perlu memperhatikan tata letak, dimensi dan cara pembuatan salurannya disesuaikan dengan fisiografi dan kondisi lahan sehingga menunjang kelestarian dan produktivitas lahan. Pembuatan saluran harus mengikuti atau memperhatikan garis kontur dan tipologi lahannya. Saluran dengan mempertimbangkan garis kontur maka aliran air dapat mengalir dengan baik, tinggi air di saluran rata. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam proses pencucian bahan-bahan beracun dari lahan ke saluran dan seterusnya ke sungai berjalan lancar. Dimensi dan kedalaman saluran perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keadaan hidrologi di daerah tersebut, sebab penurunan muka air yang drastis akan mengakibatkan teroksidasi lapisan pirit, besi, Al, dan sulfat akan muncul ke permukaan dan dengan adanya air hujan akan meningkatkan kemasaman (pH) air di saluran. Selain itu penurunan permukaan air yang drastis juga akan menyebabkan gambut kering tak balik (irrevisible drying) sehingga akan mempercepat penurunan permukaan gambut (subsidence) dan atau cepat hilangnya lapisan gambut. Pembuatan tata ruang sebelum saluran dibuat perlu memperhatikan dan mempertimbangkan pola penggunaan lahan hipotetik yang dikemukakan oleh Widjaja-Adhi, (1992). Menurut Harjono, (1995) sedikitnya terbuka lima peluang fungsi dari jaringan pengairan rawa, yaitu 1) berfungsi sebagai saluran drainase, 2) sebagai pemasukan air, 3) sebagai alat trasportasi, 4) berfungsi sebagai konservasi sumberdaya air rawa, dan 5) sebagai pendukung bagi proses reklamasi. Untuk mencapai jaringan tata air ini hendaknya berpegang kepada pola penggunaan lahan dan pola pemanfaatan sekaligus diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran drainase, pemasok air, mendukung proses reklamasi, dan konservasi sumber air. Fungsi jaringan tata air sebagai alat transportasi perlu dipertimbangkan pada tahapan mana ini dapat diberlakukan. Pada tahap saluran primer dan sekunder mungkin fungsi ini dapat diberlakukan, tetapi untuk tersier sebaiknya tidak dianjurkan. b. Tata Air Mikro Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk : (1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, (2) mencegah pertumbuhan tanaman liar pada padi sawah, (3) mencegah terjadinya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, (4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan di saluran. Untuk lebih memperlancar keluar masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus memperlancar pencucian bahan racun, Widjaja-Adhi (1995) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada petakan lahan dan di sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, sistem pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air di saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar pencucian bahan beracun. Pengelolaan air tingkat tersier ditujukan untuk mengatur saluran tersier agar berfungsi: (1) memasukkan air irigasi, (2) mengatur tinggi muka air di saluran dan secara tidak langsung di petakan lahan, dan (3) mengatur kualitas air dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di petakan lahan serta mencegah masuknya air asin ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro tergantung kepada tipe luapan air pasang dan keracunan di petakan lahan. Tata air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam sistem aliran satu arah (one way flow system), sedangkan untuk lahan bertipe luapan C dan D, saluran air perlu ditabat/disekat dengan stoploguntuk menjaga permukaan air tanah agar sesuai dengan kebutuhan tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut. Untuk keperluan pengaturan tata air ini perlu dibangun pintu-pintu yang sesuai sebagai pengendali air. Pintu air tersebut dapat berupa stoplog maupun pintu ayun atau pintu engsel (flapgate). • Penataan lahan Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya seperti pada tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, maka penataan lahan sebaiknya untuk sawah, karena pirit akan lebih stabil tidak mengalami oksidasi dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Tetapi bila tipe luapan B, maka pola pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan dengan sistem surjan. Sistem surjan dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara bertahap dan tanahnya diambil dari lapisan atas. Hal ini dilakukan untuk menghindari oksidasi pirit.

2 komentar:

  1. hai...sy mala anak sgroekoteknologi,,,boleh sy mnta dikirimkan laporan ttg konservasi air dan tanah (semua acara),mohon ketersediaannya yah,,trims sblumnya
    oiya kirim k email sy malamoy@ymail.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah maap nih, lm gak buka blog. jd gak tau ad permintaan dr km.

      Hapus

Halaman