Rabu, November 30, 2011

PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM MELALUI AKTIVITAS MIKROORGANISME

Tanah sulfat masam merupakan tanah yang mengandung senyawa pirit (FeS2), banyak terdapat di daerah rawa, baik pada pasang surut maupun lebak. Mikroorganisme sangat berperan dalam pembentukan tanah tersebut. Pada kondisi tergenang senyawa tersebut bersifat stabil, namun bila telah teroksidasi maka akan memunculkan problem, bagi tanah, kualitas kimia perairan dan biota-biota yang berada baik di dalam tanah itu sendiri maupun yang berada di badan-badan air, dimana hasil oksidasi tersebut tercuci ke perairan tersebut. Mensvoort dan Dent (1998) menyebutkan bahwa senyawa pirit tersebut merupakan sumber masalah pada tanah tersebut. Dalam proses oksidasi-reduksi pada tanah sulfat masam, terlihat betapa besarnya peran dari mikroorganisma, karena itu pendekatan pengelolaan tanah sulfat masam melalui mikroorganisma dapat didekati melalui: 1. Mencegah atau memperlambat terjadi proses oksidasi, yaitu mencegah kerja dari bakteri pengoksidasi tersebut, melalui: a) Pemberian bakterisida. Aktivitas bakteri pengoksidasi dapat ditekan melalui pemberian bakterisida yang spesifik. Hasil pengujian Polford et al. (1988) mendapatkan bahwa bakterisida seperti Panasida (2,2’ dyhydrpxy 5,5’ dichlorophenylmethane) dan deterjen efektif mencegah kerja bakteri pengoksidasi Thiobacillus ferrooxidans. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Arkesteyn (1980), pemberian NaN3 dan N-ethylmaleimide (NEM) mampu menghambat oksidasi Fe2+ dan So. b) Mengurangi suplai oksigen melalui penggenangan, sehingga kerja bakteri pengoksidasi terhambat. Menurut Anonim (2002b), adanya udara mempercepat oksidasi S yang menyebabkan pH turun kurang dari 1. c) Pemberian kapur, adanya ion Ca yang berasal dari kapur akan menetralkan ion sulfat membentuk gipsum (CaSO4) sehingga menurunkan aktivitas ion sulfat. Hasil penelitian Arkesteyn (1980) menunjukkan bahwa adanya penambahan kapur mencegah pemasaman, dimana pada pH dibawah 4,0, oksidasi kimia (tanpa bakteri) lebih rendah dibanding tanah yang diberi bakteri Thiobacillus ferrooxidans (oksidasi biologi). Ini artinya pada pH diatas 4,0, kemampuan oksidasi secara biologi tidak berbeda dengan secara kimia, yaitu berjalan sangat lambat. 2. Mempercepat proses reduksi sulfat dan besi, dengan menciptakan kondisi lingkungan yang diperlukan oleh bakteri tersebut. Kelompok organisme pereduksi sulfat ini secara generik diberi nama awal dengan “desulfo”, dimana SO42- sebagai aseptor elektron. Menurut Mills (2002) bakteri tersebut berasal dari genus Desulfovibrio dan Desulfotomaculumyang merupakan organisme heterotrophic, yang menggunakan sulfate, thiosulphate (S2O3) dan sulfide (SO3-) atau ion yang mengandung sulfur tereduksi sebagai terminal aseptor elektron dalam proses metabolisme. Bakteri tersebut memerlukan subtrat organik yang berasal dari asam organik berantai pendek seperti asam laktat atau asam piruvat. Bakteri pereduksi sulfat dapat mereduksi sulfat pada kondisi anaerob menjadi sulfida, selanjutnya dapat mengendapkan logam-logam toksik sebagai logam sulfida. Menurut Saida (2002), pada percobaan lab dengan media agar, bakteri tersebut dapat tumbuh sampai pH 2 dan meningkatkan pH media menjadi 6,4. Pada kondisi aerobik, H2S mungkin dikonsumsi oleh pengoksidasi S, dimana SO2 diserap secara kimia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman