Rabu, November 30, 2011

KARAKTERISTIK LAHAN RAWA SULFAT MASAM

Lahan sulfat masam adalah lahan yang memiliki horizon sulfidik dan atau sulfurik di dalam kedalaman 120 cm dari permukaan tanah mineral. Pada umumnya lahan sulfat masam terbentuk pada lahan pasang surut yang memiliki endapan marin. Karena kondisi lingkungannya beragam maka karakteristik lahan sulfat masam sangat beragam. Klasifikasi lahan sulfat masam juga dikenal beberapa istilah yang mencerminkan kondisi lingkungan dan tingkat kegawatan kendala yang dihadapi. Tanah sulfat masam ditandai warna tanah yang kelabu, bersifat mentah, dan kemasaman sedang sampat tinggi (Breemen dan Pons, 1978). Identifikasi dan mengenal tanah sulfat masam dapat dilakukan di lapangan secara cepat, mudah dan sederhana (Notohadiprawiro, 1985). Warna matriks tanah pada lahan sulfat masam umumnya cokelat gelap untuk lapisan atas dan abu-abu (grey) untuk lapisan bawah yang menunjukkan adanya pirit. Warna coklat gelap menunjukkan tingginya kadar bahan organik, sedangkan warna abu-abu mencerminkan tingginya kadar mineral kaolinit (Breemen, 1982). Warna matriks tanah sulfat masam mempunyai hubungan dengan ada tidaknya pirit. Warna abu-abu gelap kehijauan (5Y 4/1) menunjukkan adanya pirit dan warna semakin gelap menunjukkan kadar pirit yang semakin tinggi (Noor, 2004). Tipologi Lahan Menurut FAO – Unesco Menurut klasifikasi tanah Badan Makanan dan Pertanian Dunia (FAO – Unesco, 1994), tanah sulfat masam dibagi menjadi tiga jenis yaitu Thionic Fluvisol, Thionic Gleysol, dan Thionic Histosol. Istilah fluvi (fluviatil) menunjukkan arti sebagai hasil endapan (marin), gley menunjukkan kadar lempung yang tinggi, sedangkan histo menunjukkan adanya lapisan gambut diatas permukaan. Tipologi Berdasarkan Karakteristik Lahan Tipologi lahan adalah penggolongan lahan rawa berdasarkan kendala biofisik atau karakteristik lahan yang berpengaruh pola pemanfaatan dan pengelolaan lahan. Tipologi lahan diusulkan oleh Widjaja-Adhi, (1986), untuk Proyek Pengambangan lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps-II. Lahan sulfat masam termasuk dalam kelompok lahan rawa pasang surut yang terdiri atas lahan sulfat masam aktual dan lahan sulfat masam potensial Lahan sulfat masam adalah lahan sulfat masam aktual dan sulfat masam potensial dengan lapisan sulfidik < 50 cm. Sedangkan lahan potensial adalah lahan sulfat masam potensial yang memiliki kedalaman lapisan sulfidik > 50 cm. Selanjutnya Widjaja Adhi (1995) merevisi tipologi lahan menjadi lahan bersulfida dangkal, lahan bersulfida dangkal bergambut, lahan bersulfat-1, lahan bersulfat-2 dan lahan bersulfat-3 sebagai pengganti istilah lahan sulfat masam. Sedangkan untuk lahan potensial diterjemahkan menjadi lahan bersulfida sangat dalam dan lahan bersulfida dalam. Tabel 17. Klasifikasi tipologi lahan sulfat masam Tipologi lahan Simbol Kriteria Lahan potensial Sulfat masam potensial P Kadar pirit <2% belum mengalami proses oksidasi, terletak pada kedalaman >50 cm dari permukaan tanah, termasuk tanah sulfat masam potensial. Kendala produksi dan kemungkinan munculnya kendala tersebut diperkirakan kecil. Lahan sulfat masam Sulfat masam potensial SM Lapisan pirit dengan kadar >2% tidak/belum mengalami proses oksidasi, dan terletak lebih dangkal, <50 cm dari pemukaan tanah Sulfat masam aktual SM Memiliki horizon sulfurik, dengan jarosit/ brown layer, pH (H2O)<3,5. Sumber: Widjaja Adhi et al. (1986) Dinamika nomenklatur lahan sulfat masam terus berlanjut dengan perubahan kecil pada lahan potensial (bahan sulfidik >50 cm), menjadi lahan potensial-1 (bahan sulfidik >100 cm) dan lahan potensial-2 (bahan sulfidik 50-100 cm), serta penamaan lahan sulfat masam bergambut menjadi lahan sulfat masam potensial bergambut, dengan kedalaman lapisan gambut di permukaan tanah antara 20-40 cm. Tabel 18. Revisi klasifikasi tipologi lahan sulfat masam Klasifikasi tipologi lahan, 1992-1993 Klasifikasi tipologi lahan menurut Widjaja-Adhi, 1995 Simbol Kedalaman irit/bahan sulfidik Lahan potensial Aluvial bersulfida sangat dalam SMP-3 >100 cm Aluvial bersulfida dalam SMP-2 50-100 cm Lahan sulfat masam Aluvial bersulfida dangkal SMP-1 <50 cm Aluvial bersulfida dangkal bergambut (Histik sulfat masam) HSM/G-0 <50 cm; bergambut <50 cm Aluvial bersulfat-1 SMA-1 <100 cm (pH-H2O >3,5) Aluvial bersulfat-2 SMA-2 <100 cm (pH-H2O <3,5) Aluvial bersulat-3 SMA-3 >100 cm (pH-H2O <3,5) Sumber: Widjaja Adhi (1995) Tipologi Berdasarkan Tipe Luapan Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa lahan sulfat masam adalah bagian dari ekosistem lahan pasang surut. Oleh karenanya, lahan ini mengalami fenomena pasang surut harian seiring dengan pergerakan matahari dan bulan. Berdasarkan tipe luapan, lahan sulfat masam dibagi menjadi empat kelompok yaitu: (1) tipe luapan A; (2) tipe luapan B; (3) tipe luapan C; dan (4) tipe luapan D. Lahan sulfat masam dengan tipe luapan A adalah lahan yang terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil. Lahan ini mengalami risiko paling kecil terhadap pemasaman karena lapisan pirit biasanya selalu jenuh air. Lahan tipe luapan B adalah lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar saja. Biasanya kejadian pasang besar hanya terjadi pada saat bulan purnama atau bulan mati, masing-masing selama 5 – 7 hari. Jadi dalam 1 bulan kira-kira kejadian pasang besar hanya 10 – 14 hari. Lahan sulfat masam dengan tipe luapan C adalah lahan yang tidak diluapi oleh pasang besar maupun kecil, tetapi pergerakan air tanah ada diantara 0 – 50 cm dari permukaan tanah. Sedangkan lahan dengan tipe luapan D adalah lahan yang tidak terluapi oleh pasang besar maupun kecil, dan pergerakan air tanah berada pada kedalaman > 50 cm. Direktorat Rawa (1984) menggunakan istilah lahan katagori I, II, III dan IV masing-masing untuk lahan tipe luapan A, B, C, dan D. Mengenali tipe luapan lahan sulfat masam sangat penting karena sangat menentukan dalam sistem pengelolaan lahan dan airnya. Lahan sulfat masam dengan tipe luapan A dan B umumnya dikelola menjadi lahan sawah dan pengelolaan airnya menggunakan sistem aliran satu arah. Lahan sulfat masam dengan tipe luapan C dikembangkan sawah sistem surjan atau lahan kering. Sistem pengelolaan air yang dianjurkan adalah dengan sistem tabat. Sedangkan lahan dengan tipe luapan D, sebaiknya digunakan untuk lahan kering dengan sistem pengelolaan air dengan sistem tabat. Pengelolaan sistem tabat dimaksudkan untuk membantu mempertahankan permukaan air tanah setinggi mungkin agar tidak terjadi pemasaman berlanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman